Bagaimana Kemampuan Adaptasi Kita Menghadapi Bencana?

Ilustrasi.

Semarang, Idola 92.6 FM – Intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Seiring dengan hal itu, frekuensi bencana dipicu faktor cuaca meningkat. Hal itu menuntut perubahan mitigasi dan kemampuan adaptasi. Awal tahun 2016, peneliti meramalkan tahun ini La Nina menguat dan diperkirakan menyebabkan kemarau basah di Indonesia.

Namun, kenyataannya, fenomena cuaca ekstrem berupa hujan deras dan angin kencang beberapa hari terakhir tak dipengaruhi La Nina. Di tengah menghadapi itu semua bencana gempa bumi berkekuatan 6,5 skala richter terjadi di Kabupaten Pidie Jaya Aceh Rabu (7/12) subuh lalu. Bencana gempa bumi tercatat mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia, dan ratusan bangunan rubuh.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan intensitas bencana dipicu faktor cuaca secara nasional terus meningkat. Secara nasional, pada tahun 2016 ada 575 kejadian longsor yang mengakibatkan 177 orang tewas, 100 orang terluka dan 38,506 orang mengungsi. Menurut Kepala BMKG Andi Eka Sakya, faktor hujan ekstrem hanya salah satu pemicu longsor dan banjir. Banyak faktor lain bersifat antropogenik berperan, misalnya tata guna lahan kota, manajemen sampah, dan kerusakan area tangkapan air.

Lantas, bagaimana meningoptimalkan mitigasi dan kemampuan beradaptasi kita menghadapi berbagai ancaman akibat cuaca ekstrem? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kesadaran mitigasi bencana? Bentuk mitigasi dan adaptasi seperti apa yang diperlukan untuk meminimalisir dampak bencana?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kami akan berdiskusi bersama beberapa narasumber yakni Dr Eko Teguh Paripurno MT, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LPPM UPN Veteran Yogyakarta dan Budayawan Jakob Sumardjo. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: