Jakob Sumardjo: Kita Itu Galau Kebudayaan

Semarang, Idola 92.6 FM – Menyoroti makin rendahnya kecerdasan emosi di kalangan terpelajar dan maraknya fenomena kekerasan. Budayawan Jakob Sumardjo memandang, fenomena kekerasan yang dilakukan oleh kalangan orang di perguruan tinggi harus dikaji dari sisi sosiologi pendidikan. Menurutnya pemerintah mengabaikan aspek sosiologi pendidikan.

“Rata-rata kekerasan terjadi di kota besar,” terang Jakob dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Rabu (4/5) pagi.

Jakob yang juga guru besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menerangkan, sistem pendidikan yang cocok bagi Indonesia harus diteliti dari sisi sosiologinya. Sebab, menurutnya dunia pendidikan dalam negeri masih berada pada masa peralihan.

Dia memandang sistem dan ilmu pengetahuan dari luar negeri yang diajarkan dipendidikan dalam negeri harus disesuaikan dengan kemampuan budaya lokal di Indonesia. Hal ini agar mahasiswa tetap mempunyai nilai-nilai budaya di dalam diri untuk membentengi diri.

Ia mencontohkan, masyarakat harus menggunakan rasa tata karma dalam berbicara, hal ini sudah merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang efektif menangkal konflik. “Kita itu mungkin galau kebudayaan, olah rasa-nya bertolak belakang dengan masyarakat modern, jadi jangan asal njiplak saja,” jelas Jakob.

Jakob tidak menampik kalau pun sistem pendidikan di Indonesia berkiblat dengan negara-negara maju dalam pembangunan. Namun tetap harus memiliki orientasi dan tujuan serta kesiapan menerapkannya. Tujuan yang dimaksud ialah menjadi negara modern yang industrialis namun tidak harus serta merta meniru cara negara lain dalam mencapainya.

“Sekarang ini kita hanya ngambil pendidikan dari negara maju, ngambil konten dari pendidikan global saja, padahal kita belum siap. Kemampuan budaya-budaya lokal kita di Indonesia harus dikembangkan, misal di Bandung bagaimana, Flores bagaimana” katanya.

Sementara itu, Devie Rahmawati, pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) menganggap dirinya tidak sependapat jika dikatakan dunia pendidikan telah gagal mendidik generasi muda karena ada dua kasus pembunuhan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) baru-baru ini. Ini hanya kasuistik dan tidak bisa digeneralisir.

Dia menyebut sebenarnya ada persoalan mendasar pada masyarakat atas kasus ini yakni bagaimana orang tua mengajarkan pada anak-anaknya tentang mengelola komunikasi dengan orang lain. “Ini didasari pada perilaku mereka (mahasiswa-red) yang selama 24 jam mereka ini on terus dengan gadget,” tuturnya.

Penggunaan gawai (gadget) memang tidak bisa dihindari dalam perkembangan tekhnologi dewasa ini. Generasi muda mudah marah, galau dan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari media sosialnya. Emosi dan gambaran perasaan lainnya bisa dituliskan di media sosial kapanpun. Ini menunjukan masyarakat memiliki masalah emosi yang sulit dikontrol.

Berbeda dengan generasi terdahulu sebelum teknologi semaju sekarang, orang menuliskan emosi atau perasaan lainnya dalam sebuah diary atau buku. Dahulu orang tidak memiliki kesempatan untuk memperlihatkan gambaran emosi dan perasan lainnya secara umum yang bisa dilihat banyak khalayak lain karena belum terbius dengan gawai.

Semua hal ini, menurut Devie, sebetulnya bisa diatasi dengan pendidikan karakter sesuai budaya timur yang memiliki gaya komunikasi yang santun. Menurutnya, di dalam perguran tinggi, dosen harus memiliki teladan karena itu merupakan guru terbaik.

“Ada yang harus diperbaiki, kita harus mengikuti medium dan batas anak-anak muda. Dosen harus memberi teladan,” imbuhnya. (Diaz Abidin/Heri CS)