Topic Of The Days: Jenjang Pendidikan Meningkat, Menurunkan Minat Berwirausaha Di Indonesia?

(Ilustrasi)

Semarang, idola 92.6 FM – Minat berwirausaha di Indonesia cenderung turun seiring jenjang pendidikan yang meningkat. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang jumlah wirausahanya masih sedikit.

Asisten Deputi Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Santoso mengungkapkan, Indonesia baru memiliki wirausaha sekitar 1,65 persen dari total populasi. Padahal Idealnya, untuk menjadi Negara makmur dibutuhkan wirausahawan minimal 2 persen dari jumlah penduduk.

Santoso menyebut, persentase wirausaha Indonesia dibandingkan dengan populasi penduduk Negara lain seperti Amerika Serikat yang sebesar 11,5 persen, Singapura 7,2 persen, Jepang 11 persen, Tiongkok 10 persen, dan Malaysia 3 persen.

“Generasi muda perlu diberi motivasi untuk menumbuhkan jiwa atau minat berwirausaha,” menurut Santoso.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan sekitar 32,4 persen lulusan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah berminat untuk berwirausaha. Sementara, minat berwirausaha lulusan sekolah menengah atas sekitar 22,4 persen dan perguruan tinggi 6, 14 persen.

Lantas, apa terobosan dan jalan tengah untuk menangkarkan jiwa entrepreneurship sejak dibangku sekolah menengah dan perguruan tinggi? Dan, mengapa minat berwirausaha di Indonesia cenderung turun seiring jenjang pendidikan yang meningkat?

Pola Pikir Masyarakat Masih Berpikir Bagaimana Mendapatkan Pekerjaan

Santoso, dalam diskusi Panggung Civil Society Radio Idola, Senin (25/7), menyatakan ada beberapa kendala yang membuat wirausahawan menurun seiring jenjang pendidikan yang meningkat. Hal itu salah satunya dipengaruhi dengan pola pikir.

“Sebagian masyarakat kita berfikir bahwa harus mendapat pekerjaan setelah selesai sekolah, jadi masyarakat itu berfikir hanya mendapat pekerjaan,” tuturnya.

Saat ini masih banyak orang yang salah kaprah memaknai wirausaha. Dia menjelaskan, masyarakat memandang wirausaha sebatas usaha dagang atau bisnis semata. Padahal, wirausaha adalah individu yang memiliki kemampuan berpikir kreatif dan inovatif dalam menciptakan peluang dan terobosan baru. Beberapa wirausahawan juga kerapkali menghadapi tantangan yang tak mudah.

“Kapasitas SDM kelas wirausaha yang masih rendah, lalu kurangnya kemampuan managerial dalam menjalani strategi usaha, pemahaman bidang usaha yang digeluti. Jadi misal punya usaha kuliner bakso wirausahawan kurang memahami cara membuat bakso itu. Yang selanjutnya (mereka, red) ketidak mampuan mengelola administrasi keuangan,” paparnya.

Menurut Santoso, yang tak kalah pentingnya dari masalah kewirausahaan di Indonesia adalah persoalan regulasi. Hal ini untuk mengantisipasi berbagai persoalan yang berpotensi menghambat dunia wirausaha, apalagi saat ini sudah marak bisnis berbasis dalam jaringan (daring).

“Satu lagi, mungkin masalah wirausaha pemula yang mengalami masalah permodalan. Itulah kenapa angka wirausahawan tak kunjung naik,” jelasnya.

Santoso mengungkapkan, sistem kurikulum pendidikan juga ikut andil dengan masih minimnya pola pikir kewirausahaan. Untuk itu ke depan Kementerian Koperasi harus sudah mulai masuk ke kurikulum dan program pendidikan. Pihaknya akan menata kurikulum secara berjenjang.

“Dari pengenalan mulai tingkat SMP, SMA sudah mulai berwirausaha dan perguruan tinggi. Ternyata belajar wirausaha itu tidak cukup setahun untuk memahaminya bahkan bisa sampai 15 tahun,” menurut Santoso.

Kecerdasan Ekonomi Masih Rendah

Sementara itu, Heppy Trenggono, Pengusaha yang juga motivator menyatakan, jumlah pengusaha di Indonesia memang masih sedikit baru sekitar 0,28 persen. Itu sebuah indikasi bahwa kecerdasan ekonomi secara umum bangsa Indonesia rendah.

Heppy yang juga penggerak gerakan “Beli Indonesia” ini menyebut sosok entrepreneur merupakan sosok yang memiliki JIWA YANG KAYA. Ia mencontohkan menabung merupakan kebiasaan perilaku jiwa yang kaya, perilaku lain yakni menolong orang lain dan berjualan.

“Indonesia ini mengalami persoalan, jadi jualan itu dibilang sesuatu yang melakukan. Akhirnya orang itu menghindari yang namanya berjualan. Ini karakter orang yang miskin,” celoteh Heppy.

Menurut Heppy, untuk memupuk jiwa entrepreneur mesti dimulai dari lingkup paling kecil seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lalu untuk membangkitkannya, hal itu mesti menjadi budaya.

“Anak-anak saya semua saya doktrin agar jangan malu untuk jualan. Jadi (dia, red) sudah biasa untuk menawarkan sesuatu. Nah itu yang harus kita bangun,” tambahnya.

Terkait peran kurikulum pendidikan, menurut Heppy, sistem pendidikan kita hanya menciptakan pendidikan orang sibuk. Ada yang lupa yang harus dibangun bangsa ini yakni sebuah karakter.

“Bangsa Indonesia ini kan lupa membangun karakter, jadi anak-anak kita itu dibebani matematika dan sebagainya. Saya bandingkan dengan di luar negeri, jadi anak itu diberi 4-5 mata pelajaran tapi dalam sekali memahaminya,” ucap Heppy.

Jumlah wirausahawan di Indonesia memang masih jauh dari ideal. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia ke depan.

Banyak hal yang mesti dibenahi untuk menyiapkan generasi muda kita yang sadar berwirausaha. Untuk itu, pemerintah diharapkan serius menanamkan jiwa wirausaha melalui sektor pendidikan mulai dari lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dan yang tak kalah penting, publik mendorong apa yang sedang disiapkan Kementerian Koperasi dan UKM yakni memasukkan ke dalam kurikulum secara berjenjang dan bertahap sesuai jenjang pendidikannya. (Heri CS/Diaz Abidin)