Persoalan Hidup Mati

Persoalan Hidup Mati

Sang Samurai Pengasih, salah satu keperkasaannya adalah justru tak pernah merasa kehilangan apa-apa (nothing to loose). Pun ketika terguling dari puncak menara kekuasaan, kekayaan, kehormatan. Para ksatria yang menjalankan nilai Bushido ini (the way of warrior, jalan ksatria), tak akan menjual kehormatan semata-mata demi mempertahankan kuasa.

Mereka berpijak pada harga diri dan konsisten dalam menerapkan janji (sebuah komitmen). Asas hidup seperti inilah yang kering di ladang kehidupan masyarakat kita. Betapa hari-hari kita diwarnai perseteruan orang-orang besar dan atas yang mati-matian mempertahankan posisi. Meski dalam kondisi yang sepenuhnya menyimpan aib buruk. Di posisi ekstrem lain, orang-orang yang miskin dan kalah, menjadi begitu pemarah dan merasa berhak melakukan keburukan di mana-mana.

Beda dengan jiwa Samurai Pengasih. Jika ia membuat komitmen, maka bukan janji manis yang menghambur, melainkan keteguhan batu karang. Inilah yang membedakan antara jiwa samurai dengan jiwa manusia biasa. Manusia biasa hanya memenuhi komitmen yang menguntungkan dirinya, atau menyenangkan untuk dilakukan. Sementara Sang Samurai Pengasih, mati pun sanggup jika izab kabul telah dilontarkan. Tetes nilai bersetia pada janji dan kehormatan diri inilah yang kini masih membekas dalam budaya Jepang. Sehingga mereka menanggung malu tak terperi, jika tak sanggup mewujudkan komitmen (beda dengan kita, tentu saja). (Doni Asyhar)