Membaca Arah Politik Pasca DPR Mengesahkan RUU Pemilu

Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) akhirnya disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Pemilu setelah melakukan pembahasan yang cukup alot dari kamis siang kemarin hingga jumat dini hari tadi. Dalam rapat paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen. Undang-Undang Pemilu juga mengatur parliamentary threshold sebesar 4 persen dan sistem pemilu terbuka.

Pengambilan keputusan pengesahan UU Pemilu yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Setya Novanto ini diwarnai walk out sejumlah partai di antaranya Partai Gerindra, PKS, Demokrat, dan PAN. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam sambutannya mengatakan, dengan disahkannya RUU Pemilu menjadi UU, maka tahapan Pemilu serentak 2019 sudah bisa dilaksanakan.

Sementara itu, Partai Gerindra bersiap mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi bila DPR mengesahkan opsi presidential threshold sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara nasional. Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi’I mengatakan, penghapusan presidential threshold merupakan hal yang tak bisa ditawar. Menurut dia, hal itu merupakan keharusan yang mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang keserentakan pemilu.

Lalu, akankah keputusan pengesahan UU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen dapat menghasilkan pemilu yang berkualitas? Akankah keputusan DPR ini justru akan membuat kegaduhan politik baru yang dapat menggangu persiapan proses persiapan pemilu?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi bersama dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Siti Zuhro (peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Yandri Susanto (anggota Pansus RUU Pemilu dan Sekretaris Fraksi PAN DPR RI). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: