Mewujudkan Sekolah Ramah Anak Untuk Menghentikan Perundungan

Ilustrasi
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Menyambut tahun ajaran baru yang jatuh pada pertengahan Juli 2017 ini, pemerintah kembali menyosialisasikan gerakan sekolah ramah anak. Sebelum libur Lebaran, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengajak pemerintah daerah untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa.

Imbauan Muhadjir itu bukan tanpa sebab. Berbagai kasus dan ulah sejumlah siswa dengan tindakan yang tidak mencerminkan keterpelajaran mereka merebak di mana-mana. Tawuran antar-pelajar, perundungan antara senior ke yunior, tindakan kekerasan hingga penganiayaan antarsiswa akhir-akhir ini menjadi pemberitaan yang tak pernah surut. Sebagai pelajar terdidik dan berbudaya, seharusnya mereka menghindari hal-hal yang menampakkan kebiadaban. Kasus yang baru-baru ini mencuat yakni aksi perundungan di Thamrin City yang terjadi pada Jumat 14 Juli 2017. Seorang siswi SMP dirundung oleh 9 pelajar SMP dan SD. Kasus perundungan lain menimpa seorang mahasiswa di Universitas Gunadarma Jakarta.

Lantas, sesungguhnya siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan perundungan yang masih kerapkali terjadi pada siswa? Patutkah hanya pelaku yang disalahkan atau ini sebenarnya hanya dampak kecil dari tidak kondusifnya iklim dan budaya akademik? Lalu, kebijakan seperti apa yang diperlukan untuk memutus mata rantai terjadinya perundungan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Tuti Budirahayu (Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya) dan Indra Charismiadji (pengamat/praktisi pendidikan). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: