Mengurai Sengkarut Regulasi Transportasi Berbasis Aplikasi Online

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Agung (MA) kembali mencabut aturan tentang transportasi online. MA memerintahkan Menteri Perhubungan (Menhub) mencabut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017. Putusan tersebut membuat bisnis transportasi online kini lebih longgar. Di antaranya, transportasi online tak perlu lagi berbadan hukum. Taksi daring juga tak perlu ditandai dengan stiker khusus.

MA menyatakan Permenhub 108 bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Sebab, tidak menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Polemik menyangkut aturan taksi online bermula saat Menhub mengeluarkan Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.

Belakangan, Permenhub itu digugat ke MA dan hakim agung mencabutnya. Menhub kemudian membuat Permenhub 108. Lagi-lagi aturan itu digugat. Kali ini digugat oleh Daniel Lukas Rorong, Herry Wahyu Nugroho, dan Rahmatullah Riyadi. Gugatan tersebut diterima MA.

Kita sepakat bahwa kemajuan dan perkembangan teknologi dari masa ke masa adalah keniscayaan. Lantas, dalam konteks ini regulasi seperti yang ideal untuk menengahi perbedaan pandangan antara transportasi berbasis online dan konvensional atau antara yang masih tradisional dan yang berkemajuan? Silang sengkarut yang masih bergulir ini—sampai kapan? Bagaimana mestinya Negara hadir dalam polemik ini? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara akademisi Undip Semarang dan pengamat transportasi Bambang Pujianto. [Heri CS]

Berikut wawancaranya: