Di Tengah Dinamika Industri Media Massa, Bagaimana Mewujudkan Kesetaraan antara Penyedia Konten dan Pemilik Platform?

Semarang, Idola 92.6 FM – Surat kabar lokal di Amerika Serikat mengalami krisis yang berujung pada penghentian cetaknya atau tak terbit lagi. Mereka tak bisa bersaing dengan media baru seperti Facebook dan Google. Cerita pilu media konvensional di AS disoroti Christine Schmidt dari Nieman Lab dalam artikelnya yang dipublikasikan Senin lalu.

Koran legendaries di AS yang mengakhiri cetaknya antara lain: The Seattle Post-Intelligencer yang terbit pertama kali tahun 1863 dan Warroad Pioneer, Minnesota yang ditutup ketika berusia 121 tahun. Situasi itu menjadi laporan nasional surat kabar terbesar AS, The New York Times, sebagai keprihatinan dan menyuarakan keadilan bagi media massa konvensional.

Kondisi yang nyaris sama itu terjadi pula di negeri ini. Media massa konvensional, sebagai penyedia konten, kini terjepit dan sebagian di antaranya mengakhiri edisi cetak karena tak kuat menghadapi gerusan media baru berbasis internet. Ada relasi yang tak setara antara penyedia konten dan penyedia platform. Dahulu penyedia platform tidak memasuki wilayah konten, tetapi kini mereka menyediakan konten. Penyedia konten mendapatkan keuntungan, tapi tak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh penyedia platform.

Secara global, sekitar 70 persen pendapatan iklan ranah digital dikuasai penyedia platform, khususnya Facebook, Google, dan media sosial lain. Penyedia platform dipersoalkan karena diduga tak membayar pajak secara benar. Penyedia konten terikat dengan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers; harus berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburnan, dan control social sekaligus lembaga ekonomi. Ini artinya relasi antara penyedia konten dan pemilik platform tidak setara.

Lantas, di tengah dinamika industri media massa di era new media, bagaimana mewujudkan kesetaraan antara penyedia konten danpemilik platform? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Anggota Dewan Pers RI Agus Sudibyo. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: