Menakar Wacana Amendemen UUD 1945 yang Digulirkan Pimpinan MPR, Benarkah Ini Seperti Membuka Kotak Pandora?

Wacana Amendemen UUD 1945

Semarang, Idola 92.6 FM – Gagasan mengubah lagi konstitusi terus disuarakan pimpinan MPR. Padahal, dalam panggung kampanye Pemilu lalu tak pernah disuarakan adanya ide amendemen konstitusi ini. Terpilihnya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR tak bisa dilepaskan dari kesepakatan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dam Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Amendemen terbatas konstitusi menjadi salah satu bagian dari kesepakatan itu.

Sebagian kalangan menilai, Presiden Jokowi semestinya tidak tergoda iming-iming politik itu dan tidak membiarkan manuver yang mengobrak abrik konstitusi. Dalih PDIP bahwa GBHN diperlukan untuk menangkal ideologi radikal sungguh tak masuk akal.

Secara matematis politik, koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin bisa mengusulkan amendemen konstitusi. MPR diberi kewenangan mengubah konstitusi. Dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan, usul perubahan UUD 1945 dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan sekurangnya 1/3 anggota MPR. Sepertiga anggota MPR setara dengan 237 orang. Pendukung pemerintah yang terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, dan P3 berjumah 349 kursi.

Seperti diketahui, sedikitnya ada 4 butir yang mungkin akan diamandemen. Menghidupkan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN); Mengembalikan lagi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara; Jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya satu periode selama 8 tahun; dan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR.

Lantas, menakar wacana amendemen konstitusi yang digulirkan pimpinan MPR—benarkah ini seperti membuka kotak Pandora yang akan membawa kita kembali ke tatanan negara yang otoriter? Bagaimana mestinya menyikapi ini? Rencana menghidupkan kembali GBHN—relevankah di tengah kita telah memiliki UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Veri Junaidi (Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif) dan Charles Simabura (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang). (Heri CS)

Berikut diskusinya: