Bagaimana Memajukan Perempuan di Tengah Kepungan Budaya Patriarki?

Kekangan Patriarki
(Ilustrasi: lpmrhetor.com)

Semarang, Idola 92.6 FM – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs merupakan kesepakatan negara-negara di dunia yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. SDGs mengupayakan perubahan-perubahan signifikan pada setiap aspek kehidupan. Hal tersebut berlandaskan pada hak asasi, manusia dan kesetaraan, sehingga pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup dapat tercapai.

Dalam rencana aksi global, aksi SDGs berdasarkan pada prinsip 5 P, yaitu: People, Planet, Prosperity, Peace, and Partnership. Hal itu berarti, kehidupan tanpa kemiskinan dan kelaparan (people); menjaga planet bumi dan tidak mengeksploitasi sumber daya alam (planet); pentingnya kemitraan untuk mencapai tujuan (partnership), hidup dalam harmoni dan damai (peace), dan mewujudkan kemakmuran bersama (prosperity).

Dalam mencapai target SDGs, mustahil bisa dicapai tanpa melibatkan perempuan. Sebab, perempuan merupakan garda depan dalam pembangunan sesungguhnya. Hal ini tercermin dari kajian Aksi Kolektif Perempuan dan Undang-Undang Desa yang dilakukan University of Melbourne Australia dan UGM Yogyakarta. Penelitian itu membuktikan keterlibatan perempuan dalam implementasi Undang-undang Desa berhasil memperkenalkan berbagai inisiatif. Munculnya gerakan perempuan desa juga berhasil melahirkan sejumlah regulasi.

Dalam konteks ini, kita memaknai Undang-Undang Desa hanyalah instrument dan muaranya adalah kemajuan daerah pedesaan. Desa akan maju jika memenuhi prinsip-prinsip dalam SDGs tadi. Lalu, dalam proses memajukan desa itu, ada peran perempuan yang selama ini belum sepenuhnya menjadi tumpuan. Padahal, perempuan adalah agen pembangunan! Ibaratnya, jika perempuan berdaya berarti SDM kita 100 persen juga akan berdaya. Jika perempuan dibiarkan tak berdaya maka hanya 50 persen SDM kita yang berdaya.

Maka, mengingat begitu pentingnya kontribusi perempuan pada pembangunan nasional, lalu bagaimana memajukan perempuan di tengah kepungan budaya patriarki? Bagaimana cara mengubah stigma dan paradigma masyarakat, mengingat realitas budaya tidak mengakomodasi kesetaraan dan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan? Bagaimana pula cara keluar dari budaya dan keyakinan yang memarginalkan peran perempuan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Amalinda Savirani (Peneliti Senior Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta); Prof Tri Marhaeni Pudji Astuti (Dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (UNNES)); Ikhaputri Widiantini (Dosen Program Sarjana Ilmu Filsafat, FIB Universitas Indonesia); dan Yayuk Tutiek Supriyanti (Kepala Desa Tawangsari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali). (andi odang/her)

Berikut podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaTim UGM Kembangkan Sistem Peringatan Dini Gempa Bisa Terdeteksi 3 Hari Sebelum Terjadi
Artikel selanjutnyaKPU Siapkan Debat Kandidat Pilkada Secara Daring