Gonta-ganti Kebijakan Hambat RI Jadi Negara Maju, Bagaimana Jalan Keluarnya?

Ilustrasi Gonta Ganti Kebijakan

Semarang, Idola 92.6 FM – Indonesia membutuhkan program pembangunan yang berkesinambungan untuk mencapai target menjadi negara maju pada 2045. Sistem dan kesepakatan nasional perlu dibangun sehingga program yang dicanangkan tetap bisa berjalan meski presiden, menteri, atau kepala daerah silih berganti pada 25 tahun ke depan.

Demikian mengemuka dalam diskusi panel yang digelar harian Kompas baru-baru ini, bertajuk “Menciptakan Pertumbuhan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”. Ada beberapa indikator untuk mengukur Indonesia maju. Mengutip kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia pada tahun itu ditargetkan 23.199 dollar AS dari 4.174,9 dollar AS pada 2019 lalu.

Menurut ekonom senior CORE Indonesia Hendri Saparini, kalau setiap lima tahun ganti kebijakan dan ganti program, tentu akan sulit untuk mencapai visi Indonesia Maju 2045. Agar kebijakan tak berubah-ubah setiap ganti presiden atau ganti menteri, menurut Hendri, diperlukan kesepakatan pembangunan nasional 25 tahun menuju 2045. Institusi pemerintahan yang kuat menjadi kunci. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dan kemauan politik kuat mewujudkan visi jauh ke depan, bukan visi sepanjang masa jabatan.

Terkait visi—menurut Rektor IPB University Arif Satria, harus ada transformasi dari pendekatan aktor atau sosok, pemimpin ke pendekatan sistem dalam sebuah institusi pemerintahan. Ia mencontohkan, Jepang yang kerap berganti perdana menteri atau pejabat setingkat menteri dalam waktu relatif singkat tetapi tak ada guncangan besar yang timbul akibat pergantian tersebut.

Lantas, dalam situasi saat ini—kalau gonta ganti kebijakan setiap lima tahun menghambat Indonesia menjadi negara maju—padahal periode kepemimpinan nasional hanya 5 tahun dan maksimal 2 kali periode, maka bagaimana jalan keluarnya? Haruskah, setiap calon presiden sebelum Pilpres “ditodong” untuk meneken kontrak politik? Atau, apa alternatif lainnya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ekonom, Direktur CORE Indonesia Moh Faisal dan Peneliti politik senior LIPI Prof Siti Zuhro. (Heri CS)

Berikut diskusinya: