Memahami Kebijakan Pemberlakuan Sosial Berskala Besar dan Bagaimana Mengoptimalkannya?

Ilustrasi PSBB

Semarang, Idola 92.6 FM – Melawan Pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dan memilih pembatasan sosial berskala besar dan bukan “lockdown” atau karantina wilayah. Padahal, sejumlah kalangan termasuk DPR siap mendukung jika pemerintah mengambil kebijakan karantina wilayah.

Pembatasan sosial berskala besar sebagai kelanjutan dari pembatasan sosial (social distancing)—yang diputusakan Presiden Jokowi dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 dinilai sebagian kalangan masih belum menjawab persoalan wabah Covid-19 secara komprehensif. Pilihan PSBB didasari karena presiden tidak ingin adanya lockdown yang berarti semua orang tak boleh keluar rumah, transportasi umum, dan pribadi dilarang—serta aktivitas kantor dihentikan.

Sebaliknya dengan PSBB yang dipilih, pergerakan orang dibatasi, semua aktivitas terutama ekonomi tetap berjalan. Hanya saja, setiap orang diminta disiplin dan patuh menjaga jarak (physical distancing), menghindari kerumunan, jaga kebersihan tangan, dan memakai masker. Jika tidak penting, dianjurkan tak keluar rumah.

Bisa dikatakan, kebijakan PSBB kini menjadi pertaruhan Pemerintah dalam upaya gerak cepat menangani Covid-19 apalagi kini, pemerintah juga hanya mengimbau warga untuk tidak mudik—namun faktanya gelombang pemudik sudah mulai terjadi di berbagai daerah.

Lantas, memahami kebijakan pemberlakuan sosial berskala besar —apa kelebihan dan perbedaannya dengan social distancing yang sudah dilakukan? Bagaimana pula bentuk konkret pembatasannya? Di sisi lain, kenapa mudik masih diperbolehkan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan, radio Idola Semarang mewawancara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako)/ Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, MH dan Epidemiolog Lingkungan/ Guru Besar Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Jakarta Budi Haryanto. (Heri CS)

Berikut podcast wawancaranya: