Menelaah Kebijakan Karantina Wilayah dan Implikasinya

Karantina Wilayah

Semarang, Idola 92.6 FM – Karantina wilayah belum juga menjadi pilihan pemerintah untuk membendung persebaran Covid-19. Sebagai gantinya, pemerintah memperkuat landasan hukum untuk menerapkan physical distancing atau menjaga jarak fisik antarwarga. Salah opsi terakhir yang akan diambil untuk mengiringi kebijakan itu yakni menerapkan sistem darurat sipil.

Di tengah dilema pertimbangan antara aspek ekonomi dan keselamatan warganya—mestinya keselamatan dan kemanusiaan adalah pilihan di atas segala-galanya—sebab seperti yang disampaikan Presiden Ghana Akufo Addo.

“We know how to bring the economy back to life. What we do not know is how to bring people back to life.”

(Kami tahu, bagaimana menghidupkan kembali ekonomi. Apa yang tidak kami ketahui adalah, menghidupkan kembali orang yang mati.)

Apa yang disampaikan presiden Ghana tersebut sesungguhnya menjadi oase warga dunia–tidak hanya di Ghana yang kini sama-sama tengah berperang melawan wabah Corona. Sehingga bagi negara mestinya tak perlu memerlukan waktu lama untuk bersikap, bertindak dan kemudian aksi nyata agar persebaran virus corona tak semakin meluas.

Penularan penyakit Covid-19 kian meluas dengan jumlah kasus positif dan korban meninggal terus bertambah. Untuk mengatasi situasi ini, pemerintah mulai menyiapkan peraturan pemerintah untuk menerapkan karantina wilayah sebaran utama virus corona. Meski demikian, sejumlah daerah sudah menerapkan karantina dengan cara masing-masing. Kebijakan lokal itu antara lain diberlakukan di Kabupaten Gayo Lues (Provinsi Aceh), Kabupaten Tolitoli (Sulawesi Tengah), Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat), Kota Tegal (Jawa Tengah), dan Kota Mataram (NTB).

Ahli epidemiologi dan biostatistik FKM UI Pandu Riono mengusulkan segera diterapkan karantina secara tegas. Tidak hanya antarkota tetapi juga antarpulau. Khususnya orang dari Jawa yang sudah merata sebarannya tidak boleh lagi ke luar pulau.

Sementara itu, Anggota DPR RI dari fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon menilai, pemerintah terlambat jika baru membahas Peraturan Pemerintah terkait kemungkinan untuk mengkarantina wilayah atau local lockdown guna menekan penyebaran virus corona. Menurut Fadli, pemerintah mestinya sudah membahas PP tersebut sejak awal Maret lalu, saat kasus positif pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo.

Ia menyesalkan pembahasan PP tersebut baru mulai digodok setelah jumlah kasus Covid-19 menginjak angka seribu lebih. “Apa yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi wabah ini ‘too little and too late’,” kata Fadli Zon.

Namun demikian, meski terlambat, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengapresiasi langkah pemerintah membahas PP karantina. Langkah itu menandakan ada kemajuan dari upaya pemerintah menangani penyebaran wabah Covid-19.

Lantas, dilema lockdown atau karantina wilayah; bolehkah pemda memutuskan sepihak, atau haruskah menunggu dari pemerintah pusat, pada saat sudah banyak nyawa yang melayang ?

Kita bisa memahami, kalau kepala daerah yang merasa peduli dan khawatir atas keselamatan warganya kemudian menutup daerahnya. Akan tetapi, akibatnya seperti di Tegal, banyak bus yang terpaksa menurunkan para penumpang di pinggir jalan Tol.

Padahal di pihak lain, kewenangan me-lockdown sejatinya berada di pemerintah pusat–meski sampai hari ini tak juga memgambil keputusan. Maka, bagaimana menyikapi kondisi terkini penyebaran covid 19? Selain itu, apa implikasi kebijakan karantina wilayah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Direktur Center of Reform On Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal dan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Fikri Faqih. (Heri CS)

Berikut podcast wawancaranya: