Menelaah Pro Kontra Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Kanalisasi Gerakan Masyarakat Sipil

Demo Menolak Omnibus Law
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law' RUU Cipta Lapangan Kerja di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Semarang, Idola 92.6 FM – Kekuatan gerakan masyarakat sipil menjadi salah satu pilar penopang demokrasi. Namun, dua dekade terakhir, pilar tersebut cenderung menurun seiring proses elektoral yang kompetitif dan menguras energi. Kasus terakhir yang memicu lahirnya gerakan masyarakat sipil yang masif adalah terkait penolakan revisi Undang-Undang KPK pada akhir tahun lalu. Dan, kini, gerakan masyarakat sipil—juga mulai terlihat menggeliat kembali, karena dipicu penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Sebelum gerakan penolakan revisi UU KPK, gerakan mahasiswa yang sebelumnya dinilai cenderung tak lagi garang tiba-tiba tampil kembali. Kehadiran gerakan mahasiswa seakan menjadi angin segar bagi hadirnya gerakan sosial di kalangan masyarakat sipil. Sayangnya, aksi bertajuk Reformasi Dikorupsi di berbagai daerah itu-tetap tak mampu meredam hasrat Parlemen dan pemerintah dalam merevisi Undang-Undang KPK.

Masyarakat sipil memiliki peran dan posisi penting. Masyarakat sipil sejatinya bukan obyek peraturan, tapi subyek sehingga keberadaannya sangat vital dalam mengawal regulasi atau perundang-undangan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau Hajat Hidup Orang Banyak. Dari itu, lahir pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.

Sementara ini, publik dan masyarakat sipil sedang bereaksi atas RUU Cipta Kerja. Senin (09/03/2020) kemarin pun, aksi digelar di Yogya melalui aksi Gejayan Kembali Memanggil. Beberapa aksi serupa—ke depan diperkirakan—akan dilakukan segenap elemen masyarakat di sejumlah wilayah. Mereka menolak kaena RUU Cipta Kerja yang dianggap merugikan, mengandung unsur yang tidak tepat dan tidak sesuai konstitusi.

Baca Juga:

Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih menimbulkan perdebatan meski pemerintah telah menyerahkan surat presiden dan draft kepada DPR. Draft yang berisi 15 bab dan 174 pasal itu dianggap hanya mengakomodasi kepentingan ‘elite’ pengusaha tanpa memikirkan dampaknya pada pekerja. Sementara, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan, pemerintah berencana menggelar roadshow ke 18 kota di Indonesia. Dengan maksud untuk menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan.

Dalam konteks ini, kita pun bertanya-tanya, upaya kanalisasi ini nanti akan menuju ke mana? Karena kalau itu disumbat atau aspirasi tak tertuang maka akan muncul menjadi parlemen jalanan. Dan, pada tingkat puncaknya, kita kawatirkan dapat menyulut chaos—yang pasti sangat tidak kita kehendaki.

Lantas, menyikapi pro-kontra Omnibus Law RUU Cipta Kerja; bagaimana cara mengekspresikan penolakan, agar aspirasi betul-betul didengar? Haruskah menjadi seperti bunyi lyric lagu: “Pada bulan dan bintang ku mengadu?” Sebagai RUU Cipta Kerja, kenapa isi pasal di dalamnya tidak terfokus untuk mempermudah urusan bagi investor masuk dan terciptanya lapangan kerja, tetapi malah melebar kemana-mana, hingga mengurus Perusahaan PERS segala? Akankah RUU ini tetap dipaksakan, ketika banyak pasal dianggap kurang masuk akal?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta/ Peneliti PUKAT FH UGM, Zainal Arifin Mochtar dan Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetyani. (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut diskusinya: