Terkuak Perlakuan Tak manusiawi kepada ABK WNI. Bagaimana Mestinya Pemerintah Bersikap dan Belajar dari Kasus Ini?

ABK WNI Dibuang ke Laut

Semarang, Idola 92.6 FM – Baru-baru ini publik Indonesia dikejutkan dengan aksi dugaan eksploitasi yang menjurus pelanggaran HAM pada ABK di sebuah berbendera China di Korea Selatan. Indisiden ini diungkap oleh sebuah media televisi Korea Selatan.

Atas insiden ini, Pemerintah Indonesia mengutuk perlakuan tak manusiawi kepada ABK WNI yang dilakukan oleh perusahaan pencari ikan asal China. Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan, perlakuan yang didapat ABK WNI melanggar hak-hak asasi manusia. ABK WNI disebutkan tidak diberi makanan layak, bekerja dalam jangka waktu yang tidak wajar, dan pembayaran gaji yang tidak sesuai kontrak.

Retno juga menyatakan pemerintah berkomitmen sangat tinggi untuk menyelesaikan masalah secara tuntas. Pemerintah Indonesia akan terus meminta otoritas China untuk bekerja sama dengan otoritas Indonesia menyelesaikan masalah eksploitasi tersebut. Terkait ini, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Hikmahanto Juwana menyatakan, pemerintah Indonesia harus memberikan perlindungan terhadap para ABK.

Sementara itu, dilansir dari CNN Indonesia (10/05/2020), kuasa hukum Anak Buah Kapal (ABK) WNI yang bekerja di kapal China Long Xing 629 menyebut, para ABK tidak menerima gaji utuh selama tiga bulan pertama. Perusahaan pemilik kapal pencari ikan tersebut beralasan gaji tidak utuh karena masalah biaya administrasi.

“Padahal menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana,” kata salah satu pengacara ABK dari DNT Lawyers, Boris Tampubolon dalam keterangan, Minggu (10/5).

Boris mengatakan, pembayaran gaji juga tidak sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh ABK. Ia mengatakan ABK tidak mendapat hak gaji sesuai dengan perjanjian. Ada ABK yang hanya mendapatkan US$120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum US$300 atau Rp4,4 juta setiap bulan.

Menurut Boris, jam kerja mengharuskan para ABK bekerja selama 18 jam setiap hari. Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, maka para ABK harus kerja terus-menerus selama 48 jam tanpa istirahat.

Lantas, mengurai problem ini, bagaimana mestinya Pemerintah bersikap dan belajar dari kasus ini? Hal apa yang perlu dibenahi agar ke depan tak kembali terjadi? Mendiskusikan ini, radio Idola Semarang mewawancara Pengamat HukumInternasional dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Prof Hikmahanto Juwana. (Heri CS)

Berikut podcast wawancaranya: