Bagaimana Menarasikan Kampanye Mencintai Produk Dalam Negeri?

Bangga Buatan Indonesia

Semarang, Idola 92.6 FM – Ironi produk karya anak bangsa di tengah kepungan produk asing masih menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah yang belum berujung. Meski kampanye “Cintailah Produk-produk Dalam Negeri” terus digemakan—produk asing masih membanjiri lapak-lapak minimarket kita, seolah secara perlahan menyisihkan produk lokal.

Tak hanya sampai di situ saja, karena menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, muncul fenomena UMKM Indonesia yang usahanya mati karena terdampak praktik predatory pricing yang dilakukan oleh pengusaha asing.

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menjual produk dengan harga sangat rendah, untuk menyingkirkan atau membunuh pesaingnya dan mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.

Melihat situasi ini, Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat Indonesia untuk membenci produk luar negeri. Sebaliknya, ia meminta masyarakat untuk mencintai produk lokal.

Kegelisahan Presiden itu dikemukakan dalam Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan Tahun 2021, Kamis (04/03) kemarin. Jokowi berharap, masyarakat bisa menjadi konsumen yang loyal untuk produk-produk dalam negeri. Dengan begitu, penjualan dari produsen lokal bisa meningkat ke depannya.

Sejumlah kalangan mengapresiasi pernyataan Presiden karena memang hal itu menjadi problem pelaku industri besar maupun kalangan UMKM. Mengingat, sejauh ini—harus diakui, produk-produk lokal masih kalah bersaing dengan produk-produk asing yang diimpor. Dalam studi yang dilakukan INDEF menunjukkan, dari semua produk yang diperdagangkan secara online, hanya 25,9 persen yang diproduksi lokal.

Akan tetapi beberapa ekonom mempertanyakan kampanye benci produk luar negeri yang dinilai tidak konsisten. Hal itu tercermin dari tingginya kontribusi impor bahan baku dan barang modal selama enam tahun terakhir, didorong oleh pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Sehingga, dalam bahasa sederhana, apa yang dicanangkan Presiden—masih hanya sebatas slogan.

Lantas, cukupkah hanya narasi tanpa dukungan regulasi? Lalu apa regulasinya? Kalau menyintai produk dalam negeri, apakah harus juga menggaungkan kebencian pada produk asing? Padahal, kita tahu, vaksinasi yang sekarang sedang gencar dilakukan di Indonesia, adalah produk luar negeri. Maka, akan efektifkah komunikasi semacam itu? Bagaimana pula agar pernyataan tersebut tak berhenti sebatas slogan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Silih Agung Wasesa (Founder and Managing Director AsiaPR, Author of Strategi Public Relations and Political Branding/ Dosen Komunikasi Politik di Program Pascasarjana Universitas Paramadina); Sofjan Wanandi (Pengusaha/ Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)); dan Bhima Yudistira Adhinegara (Pengamat Ekonomi dari Institute for development of Economics and Finance (INDEF)). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: