Bagaimana Merawat Kemajemukan, Meneguhkan Persatuan, dan Mengesampingkan Perbedaan?

Kemajemukan (Ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Menengok sejarah, bangsa kita sejak dahulu dikenal sebagai bangsa yang plural dan kosmopolit. Yang terbuka menerima perbedaan suku, ras, dan agama, baik di dalam negeri maupun dengan pendatang dari negeri lain.

Toleransi keberagaman masyarakat menjadi keniscayaan di Indonesia yang majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Toleransi merupakan sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar individu maupun antar kelompok di masyarakat. Toleransi menjadi bentuk akomodasi dalam relasi sosial satu sama lain.

Jaminan atas pengakuan kemajemukan itu bahkan terdokumentasikan di dalam konstitusi kita, UUD 1945, bahkan, menjadi semboyan bangsa kita, “Bhineka Tunggal Ika”.

Namun, akhir-akhir ini, kita prihatin. Muncul gesekan-gesekan di masyarakat atas nama perbedaan suku dan agama. Bahkan, kasus intoleransi tersebut menyeruak di dunia pendidikan dan juga ruang media sosial.

Dua kasus intoleransi ini seolah membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita masih dikenal sebagai bangsa yang toleran…?

Kasus pertama terjadi di SMK Negeri 2 Padang Sumatera Barat. Di mana pihak sekolah mewajibkan siswi non-Muslim untuk mengenakan hijab. Kasus kedua menimpa mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai. Akun Facebook dengan nama Ambroncius Nababan melakukan rasisme terhadap Pigai. Nababan yang juga Ketua Umum Pro Jokowi-Amin (Projamin) membagikan narasi yang membandingkan Natalis Pigai dengan gorilla dan kadal gurun—yang tentu saja sangat tidak patut diucapkan siapapun—apalagi tokoh publik.

Dia mengunggah foto tersebut usai Natalius Pigai mengatakan bahwa menolak vaksin Covid-19 adalah hak asasi rakyat. Unggahan Nababan tersebut menuai kemarahan publik dan protes dari berbagai kalangan.

Lantas, berkaca dari kasus intoleransi yang masih terjadi, bagaimana merawat kemajemukan dengan meneguhkan persatuan dan mengesampingkan perbedaan? Apa sesungguhnya pokok pangkal munculnya intoleransi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Dr Ravik Karsidi, M.S (Guru Besar Sosiologi pendidikan Universitas Sebelas Maret Solo (UNS)/ Staff Khusus Menko PMK); Prof Chairil Effendy (Rektor Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak Periode 2007- 2011 dan Ketua Yayasan Pendidikan OSO yang membina Universitas OSO di Pontianak); dan Abdul Fikri Faqih (Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)). (her/ andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: