Menyorot Pernyataan Arteria Dahlan soal Kajati Berbahasa Sunda, Bagaimana Dilihat Dari Sisi Etika dan Budaya?

Arteria Dahlan Musuh Orang Sunda
Spanduk bertuliskan Arteria Dahlan Musuh Orang Sunda terpasang di Jalan Tamansari, Kota Bandung. (Photo/Republika)

Semarang, Idola 92.6 FM – Beberapa waktu terakhir, perhatian publik tersita pada kasus Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan yang menyinggung masyarakat Sunda. Kasus bermula saat Arteria mengkritik seorang kajati yang memakai bahasa Sunda dalam rapat beberapa waktu lalu. Kemudian, saat rapat kerja Komisi III DPR bersama Kejaksaan Agung, Arteria meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin, agar memecat kajati tersebut.

Tidak jelas siapa Kajati yang dimaksud Arteria. Namun, menurutnya, dalam memimpin rapat, seorang Kajati harus menggunakan bahasa Indonesia agar tak terjadi salah persepsi dari orang yang mendengarnya.

Pernyataan Arteria ini pun seketika menuai kontroversi dan menuai reaksi publik, khususnya Masyarakat Sunda. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pun bahkan sempat mendorong Arteria untuk meminta maaf ke masyarakat Sunda. Meski semula kekeuh tidak mau minta maaf, akhirnya, secara resmi Arteria Dahlan meminta maaf.

Hanya saja, meski permintaan maaf Arteria bisa diterima. Akan tetapi tidak serta merta mengendurkan tuntutan dan desakan Masyarakat Sunda agar PDI Perjuangan atau DPR memberhentikan Arteria Dahlan.

Lalu, bagaimana persisnya kasus ini dilihat dari perspektif etika dan hukum? Apakah kesalahan Arteria Dahlan dalam kasus ini bisa dilihat sebagai pelecehan suku bangsa?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera); Lucius Karus (Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)); dan Rosyid E. Abby (Jurnalis Senior/Pegiat Budaya Sunda). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: