Bagaimana Aturan yang Mendesak untuk Mengatur Lembaga-lembaga Survei agar Lebih Transparan Akuntabel?

Ilustrasi
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Lembaga Survei saat ini kembali mendapat sorotan. Hal itu setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Keuangan PT Indikator Politik Indonesia, Fauny Hidayat serta Direktur Keuangan PT Poltracking Indonesia, Erma Yusriani.

Kedua pengelola lembaga survei tersebut diperiksa terkait kasus korupsi Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahni yang juga anggota DPR Fraksi NasDem.

Dua petinggi lembaga survei politik tersebut diperiksa sebagai saksi untuk mendalami aliran dana ‘dugaan korupsi’ yang diduga digunakan untuk pembiayaan survei pencalonan kepala daerah.

Peristiwa ini seolah mengonfirmasi temuan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), mengenai maraknya survei abal-abal setiap jelang Pemilu. Selain itu, sudah menjadi rahasia publik bahwa sejumlah peserta pemilu akan “memesan” lembaga survei sebagai konsultan politiknya, baik kandidat calon anggota legislatif, partai politik yang mengikuti kontestasi, maupun calon presiden-calon wakil presiden.

Lalu, bagaimana mengatur lembaga-lembaga survei agar lebih transparan akuntabel? Apakah lembaga survei tak perlu melaporkan kepada publik, ketika menerima dana dari parpol atau kandidat tertentu? Belum perlukah menjadikan kasus di KPK ini, sebagai momentum pembenahan lembaga survei?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Pakar komunikasi politik/Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: