Bagaimana Menjadikan Ilmu dan IPTEK sebagai Budaya Masyarakat?

Iptek
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) memperkirakan bahwa pada tahun 2045 Indonesia akan menjadi negara maju. Selain itu, ekonomi Indonesia juga akan menempati posisi terbesar ke-4 di dunia.

Prediksi tersebut dilatarbelakangi pada tahun 2030-2040, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia usia produktif akan mencapai 64 persen dari total penduduk sekitar 297 juta jiwa. Indonesia memiliki potensi menjadi salah satu pasar terbesar di dunia, kualitas SDM yang menguasai teknologi, inovatif, dan produktif; serta kemampuan mentransformasikan ekonominya.

Untuk itu, kita sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir bahwa dalam usaha mencapai Indonesia Emas 2045, langkah yang harus diambil adalah dengan cara menjadikan masyarakat Indonesia berilmu dan masif dalam urusan IPTEK.

Hal itu diungkapkan Haedar, saat pengukuhan Toni Toharudin yang merupakan Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran.

Haedar berharap, dengan membangun masyarakat ilmu dan kuat dalam penguasaan IPTEK, Bangsa Indonesia akan mampu bersaing dengan bangsa besar lainnya. Namun Haedar menyadari, ada problem di masyarakat kita tentang kesadaraan ilmu dan kesadaran sains. Karena kesadaran teknologi hanya semata-mata dianggap sebagai suatu hal yang praktis saja, belum menjadi statement sains, belum menjadi sebuah tolak ukur yang inti seperti bangsa-bangsa lain.

Maka, bagaimana menjadikan ilmu dan IPTEK sebagai budaya masyarakat? Lingkungan dan ekosistem seperti apa yang mesti dibuat? Siapa aktor yang mesti memobilisasi dan mengorkestrasi?

Serta, bagaimana upaya yang mesti dilakukan untuk mengubah paradigma, dari sekedar meraih tujuan materiil menjadi berdampak? Kalau meminjam istilah Erich Fromm, bagaimana menggeser mindset dari To Have menjadi To Be?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Johanes Eka Priyatma, PhD (Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (periode 2018-2022)), Yanuar Nugroho, PhD (Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG)), dan Totok Amin Soefijanto, Ed.D (Deputi Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina Jakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnya“Alluris Spray”, Sabun Semprot Antibakteri Inovasi Mahasiswa UNNES
Artikel selanjutnyaTak Harus Lewat Boyolali Atau Yogya, Sekarang Terbang ke Bali Bisa Dari Ahmad Yani