Mungkinkah Menghilangkan Biaya Politik Tinggi?

Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Biaya politik yang mahal menjadi salah satu hal yang turut berkontribusi pada mundurnya demokrasi di negeri ini. Karena biaya politik yang mahal—menjadi penghambat bagi orang-orang yang memiliki kualitas, kapasitas, dan integritas untuk terjun ke dalam bidang politik.

Untuk itu, dilansir dari Kompas.id (19/12), menurut Juru Bicara Tim Nasional Kampanye Capres-Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Muhammad Kholid, perlunya reformasi pembiayaan partai politik—sekaligus pembiayaan kontestasi politik. Pengaturan tentang pembatasan pemasukan (revenue) dan pengeluaran (spending)—diyakini akan menghadirkan kompetisi politik yang lebih fair. Selain juga dapat menghindarkan aktor-aktor politik dari jebakan oligarki kapitalistik.

Demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan LP3ES Minggu (17/12) lalu, menyikapi persoalan maraknya politik uang dalam kontestasi politik lima tahunan di Indonesia.

Mereka juga menyoroti bahwa saat ini telah terjadi regresi demokrasi. Ada hal-hal yang patut dikoreksi dalam sistem demokrasi yang berjalan saat ini—yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Bukan hanya oleh masyarakat sipil melainkan juga unsur terpenting dalam demokrasi itu sendiri, yakni partai politik harus berkontribusi dalam upaya ini.

Lantas, apa sebenarnya yang membuat biaya politik tinggi? Dan, mungkinkah, memangkas biaya politik tinggi? Seberapa mendesak reformasi pembiayaan partai politik sekaligus pembiayaan kontestasi politik—dilakukan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Pengamat Politik/ Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang, Prof. Budi Setiyono. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: