Mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. (photo/istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Ditangkapnya mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, serta tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi, menunjukkan lemahnya kewenangan pengawasan dari Komisi Yudisial. Apalagi, kasus itu ditengarai hanya bagian kecil dari praktik mafia peradilan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Sejumlah kalangan menilai, terkuaknya peran eks pejabat MA-Zarof Ricar dalam pengurusan perkara di MA, memperlihatkan minimnya peran Komisi Yudisial dalam menjalankan amanat UUD 1945 utamanya untuk menjaga harkat dan martabat hakim. Padahal, dengan diamanatkan dalam konstitusi, terbuka pengaturan untuk memberikan wewenang kepada KY melalui Undang-Undang tentang Komisi Yudisial dan UU tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sebelumnya, Zarof Ricar ditangkap penyidik Kejaksaan Agung pada Jumat 25 Oktober 2024 setelah dua hari sebelumnya penyidik menangkap tiga hakim PN Surabaya, yakni Heru Hanindyo, Erintuah Damanik, dan Mangapul. Ketiga hakim itu diduga menerima suap untuk memvonis bebas Ronald Tannur, terdakwa pembunuh pacarnya, Dini Sera. Sedangkan, Zarof diduga disuap untuk mengupayakan hakim agung di MA agar tetap menyatakan Ronald tidak bersalah dalam putusan kasasi.

Lalu, bagaimana cara menjadikan penangkapan mantan pejabat MA Zarof Ricar dan 3 Hakim PN Surabaya sebagai momentum perbaikan menyeluruh, atas sistem hukum kita? Bagaimana memperkuat peran Komisi Yudisial?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Hibnu Nugroho (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto/Tergabung juga dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi) dan Prof Topane Gayus Lumbuun (Mantan Hakim Agung). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: