Semarang, Idola 92.6 FM-Akademisi menyebut, upaya edukasi literasi digital mesti terus dilakukan dalam upaya menangkal hoaks. Artinya, kita tak boleh bosan dalam upaya memberikan edukasi literasi digital pada semua kalangan. Apalagi, saat ini, penggunaan gawai serta media sosial semakin masif.
Di sisi lain, salah satu faktor yang membuat hoaks masih terus bertebaran karena semua orang seolah selalu ingin menjadi yang pertama dalam menyampaikan informasi.
“Kita tidak boleh bosan untuk melakukan edukasi sekecil apapun kepada kelompok mana pun. Itu harus kita lakukan. Karena teknologi berkembang, orangnya berganti. Kan, yang dulu sudah kita edukasi, mereka paham. Tapi kan, belum tentu mereka menyampaikan pada generasi di bawahnya. Ke anaknya atau cucunya dan sebagainya,” kata Dr Liliek Budiastuti Wiratmo, Dosen Prodi Informasi dan Humas, Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro Semarang, saat diwawancara radio Idola Semarang, Senin (27/10). Pernyataan itu merespons temuan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) yang mencatat, selama satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebaran hoaks tercatat lebih dari 1.500 hoaks.
Menurut Dr Liliek Budiastuti Wiratmo yang juga anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), ajakan atau edukasi literasi digital untuk memerangi hoaks harus juga menyasar orangtua muda bahkan generasi muda. Namun, Liliek juga mengingatkan, dalam upaya komunikasi serta strategi edukasi literasi digital mesti memerhatikan strata sasaran audiens-nya atau menyesuaikan masing-masing targetnya.
“Tentu kita kan, harus melihat strata audience-nya. Kita bicara dengan siapa. Dengan anak-anak beda, dengan remaja beda. Kemudian, dengan orang dewasa juga beda. Dengan eyang kakung dan eyang uti juga harus beda. Jadi, kita harus tahu dulu siapa audience-nya, dan kita harus cari konteks yang dekat dengan kehidupan mereka,” ujarnya. (her)














