Semarang, Idola 92.6 FM – Sejumlah ahli hukum menilai penahanan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengunggah meme Prabowo-Jokowi dengan bantuan AI sebagai tindakan berlebihan. Sebab, keduanya sudah menjadi bagian dari institusi publik.
Kepolisan didesak menghentikan kasus yang menjerat mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain berinisial SSS karena disebut tidak memenuhi unsur pidana, menurut pakar hukum pidana.
Sebelumnya, mahasiswa ITB tersebut ditangkap Selasa 6 Mei 2025 terkait unggahan meme yang memuat gambar Presiden Prabowo dan Presiden RI ke-7 Joko Widodo “berciuman” di akun media sosial X miliknya pada Maret 2025.
Bareskrim Polri kemudian menangguhkan penahanannya pada Minggu, 11 Mei 2025 atas dasar permohonan dari yang bersangkutan, orang tua, kuasa hukum, serta pihak ITB.
Kuasa hukum tersangka Khaerudin Hamid Ali Sulaiman mengatakan, kliennya telah meminta maaf kepada Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi atas meme itu. Ia juga mengklaim bahwa kliennya menyesali perbuatannya. Menurutnya, meme hasil AI bergambar Prabowo dan Jokowi itu adalah bentuk ekspresi kritik kliennya melalui karya visual. Bukan bentuk penghinaan apalagi menyerang martabat seseorang.
Lalu, terlepas dari perkara hukumnya, bagaimana mestinya negara mendudukkan; antara kritik publik dan penghinaan dalam sistem demokrasi? Sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berkespresi, bagaimana mestinya kritik publik terhadap institusi negara? Di era Artificial Intelligence sekarang ini, bagaimana semestinya pejabat menanggapi kritik “gaya baru” ini?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Azmi Syahputra (Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta dan Sekjend Mahupiki (Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia)) dan Arif Maulana (Wakil Ketua YLBHI Bidang Advokasi dan Jaringan). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: