Semarang, Idola 92.6 FM – Fenomena keberadaan buzzer menjadi sorotan publik sejak beberapa tahun belakangan. Sejumlah pihak mencemaskan bahwa pasukan siber ini tergolong liar alias tanpa pengaturan dan tata kelola. Dan, emakin lama dibiarkan, kehadiran buzzer ini cenderung merusak.

Dalam praktiknya, keberadaan pendukung (buzzer) yang marak telah mengaburkan fakta di dunia maya. Tanpa tata kelola dan penanganan yang serius, hal ini mengancam demokrasi.

Investigasi Harian Kompas pada April-Mei 2025 mengungkap, jejaring buzzer bekerja dengan tarif jutaan hingga miliaran rupiah untuk tiap proyek. Pengaruh mereka dibangun melalui jejaring yang luas, didukung teknologi, dari phone farming atau peternakan telepon hingga platform untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.

Bisa dikatakan,  soal buzzer ini seperti “Benci Tapi Rindu”; di satu pihak, buzzer diperlukan oleh para penggunanya buat ‘mendongkrak’ citra mereka tettapi di pihak lain berpotensi merusak demokrasi!

Lalu,  bagaimana cara menertibkannya? Bagaimana memastikan bahwa pihak yang diharapkan menertibkan, bukan pihak yang selama ini memanfaatkan jasanya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber:  Kunto Adi Wibowo, PhD (Dosen/Peneliti Komunikasi Dan Media Universitas Padjadjaran Bandung) dan Nany Afrida (Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: