Kendal, Idola 92.6 FM-Bermula dari tokoh fiksi mewujud nyata. Berawal dari kisah Gregor Samsa dalam novela Metamorfosis (Die Verwandlung) karya Franz Kafka (1883-1924) menjadi Wayang Kulit berwajah Orang-orang Eropa. Itu mungkin penggambaran manakala menyaksikan kreasi wayang kontemporer Metamorfosis-Kafka besutan perajin wayang kulit asal Desa Pagersari Kecamatan Patean Kabupaten Kendal Jawa Tengah.

Bagi pembaca karya-karya Franz Kafka terutama Metamorfosis, tentu tak asing dengan tokoh-tokoh Gregor Samsa, Grete, dan manajernya. Dan, kini, mereka bisa dilihat dalam wujud “alih wahana” ke wayang kulit. Figur-figur itu yakni: Gregor Samsa dalam wujud manusia, Gregor Samsa dalam wujud kecoak berdiri dan merangkak, Grete (adik Gregor Samsa), Grete bermain biola, ayah dan ibu Gregor Samsa, manajer Gregor Samsa, asisten rumah tangga, dan tiga orang penyewa kamar. Tak luput, si juru tatah juga membuat beberapa aksesori dalam novela yang diterbitkan pada tahun 1915 itu, seperti pintu, sofa, dipan, sapu, dan buah apel.

Wayang-wayang Metamorfosis-Kafka itu dibuat oleh Sulistyo (56 tahun), perajin yang tinggal di Dukuh Paturen RT 01 RW 03 Desa Pagersari Patean. Kala itu, saat saya berkunjung ke rumahnya, pada awal Oktober 2025, ia baru saja menyelesaikannya. Ada kurang lebih 10 figur yang diselesaikannya dalam kurun waktu satu bulan lebih pada bulan medio Agustus hingga September 2025.

Bermula dari Pesanan Dalang Berbahasa Jerman

Kisah Wayang Gregor Samsa bermula dari pesanan Sigit Susanto, seorang dalang berbahasa Jerman di Eropa yang juga penulis cum penerjemah karya-karya Franz Kafka. Tak hanya menulis prosa dan puisi, Sigit yang saat ini masih tinggal di Swiss juga dikenal sebagai dalang di Eropa. Tercatat, ia pernah beberapa kali ndalang di hadapan publik Jerman dan Swiss atas undangan Kantor KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Frankfurt, Jerman.

Sigit kerap diundang mendalang dalam acara Komunitas Diaspora Indonesia di Swiss dan acara orang-orang Swiss. Dalam ingatan Sigit, ia telah 7 kali diundang dalam acara diaspora Indonesia di Swiss, 3 kali di depan publik Eropa, dan sekali dengan publik orang Filipina.

Bapak Sulistyo (kanan) memegang wayang tokoh Gregor Samsa berubah wujud menjadi kecoak raksasa dan gunungan yang merupakan usai terbangun dari mimpi buruk pada suatu pagi. Di sampingnya, pewarta memegang buku Metamorfosa Samsa, terjemahan Sigit Susanto atas novela Metamorfosis-Franz Kafka. (Foto Dok. Istimewa)

Dua lakon yang sering dipentaskan yakni kisah Ramayana dan Dewa Ruci. Kedua lakon itu ia mainkan dengan menggunakan bahasa Jerman dalam durasi kurang lebih 25 menit. Lakon Ramayana terakhir kali ia mainkan dalam acara Colourful Indonesia; Pentas Budaya Nusantara yang digelar Persekutuan Kristen Indonesia (PERKI) Swiss Kota Winterthur Swiss pada Sabtu, 20 September 2025.

Sigit bercerita, selama ndalang, ia hanya mengusung lakon dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Beberapa tokoh wayang kulit miliknya dan selalu dibawa saat ndalang, yakni Hanoman, Shinta, Rama, Rahwana, Batara Narada, Dewa Ruci, Kunti, Indrajit, Lesmana, dan Gunungan.

Sigit pun merenung untuk mencari lakon yang lebih relevan dengan publik Eropa. Sebab, selama ini ia kerap manggung di hadapan publik Eropa. Di sisi lain, kalau mengusung lakon baru, maka konsekuensinya harus ada figur/tokoh dalam wujud wayang.

Ilham bisa datang kapan saja dan di mana saja. Seumpama Archimedes yang meneriakkan, “Eureka!” tatkala masuk ke dalam bak mandi hingga kemudian menemukan prinsip daya apung (hukum Archimedes), bagi Sigit—di tengah ia menemani Claudia Beck, istrinya melancong, ia pun, kejatuhan ilhan, “Kafka!” Ya, Wayang Kafka!

Karena bukan tanpa kebetulan, ia adalah penggemar maniak Franz Kafka dan telah menerjemahkan beberapa karyanya seperti Proses, Metamorfosis, dan Surat untuk Ayah, dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia.

Syahdan, penuls novel Si Bolang dari Baon (2024) ini kemudian mencari info perajin wayang. Hingga akhirnya, salah satu teman merekomendasikan untuk memesan di Patean Kendal yang ternyata dekat dengan rumahnya di Desa Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal.

“Lewat teman di desa, saya disarankan untuk mengontak perajin wayang kulit dengan nama telepon seluler ‘Sulistyo Wayang Mirah’ yang tinggal di Desa Pagersari Kecamatan Patean Kendal,” ujar Sigit yang juga seorang travel writer ini, saat diwawancara. Maka, komunikasi pun berlanjut, hingga kemudian terwujudlah wayang-wayang orang Eropa ini.

Bapak Sulistyo saat proses menatah wayang kulit di bilik seukuran sekira 3 m x 6 m, tempat ia melahirkan wayang-wayang yang dipesan para dalang dari berbagai daerah. (Foto: Heri C Santoso)

Pengalaman Perdana Kreasi Wayang Kontemporer

Sementara itu, Sulistyo menuturkan, dalam proses pembuatan wayang kulit Metamorfosis-Kafka, dirinya meminta Sulistyo mengirim contoh wayang yang sudah dibuat. Ia juga meminta foto-foto manusia yang akan dibuat sebagai semacam pola atau model sebab ia belum pernah membuat wayang kontemporer pesanan khusus seperti figur orang-orang Eropa.

Meski demikian, bagi Sulistyo yang juga seorang niyaga ini, tak ada yang sulit selama masih di bidang yang ia geluti. “Meski dereng nate, tapi ingsyaallah saged (Meski belum pernah membuat wayang kontemporer, tapi yakin bisa,” ujar lelaki kelahiran Kendal, 27 Oktober 1969 ini.

Menurut Sulistyo, dalam proses pembuatan wayang-Metamorfosis, ada beberapa tahapan. Pertama, pengolahan kulit (sapi). Kedua, menggambar pola. Kedua, natah (menatah/memahat). Ketiga, nyungging (mewarnai). Keempat, nggapit (pemasangan tangkai), dan kelima, penyempurnaan (finishing). “Nggarap wayang Kafka niki ingkang paling rumit, natah!” ujar Sulistyo, ayah dari 4 anak ini.

Sulistyo sudah menekuni seni membuat wayang kulit sejak kecil. Ia belajar dari ayahnya yang juga seorang dalang. Karya wayang kulit yang dibuat Sulistyo banyak dipesan oleh para dalang di Jawa Tengah, seperti Semarang, Temanggung, Boyolali, hingga Solo. (her/tim-Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Artikel sebelumnyaPrabowo Pantau Langsung Satgas Penertiban Tambang di Bangka dan Morowali
Artikel selanjutnyaPrabowo Ingin Karang Taruna dan Pramuka Aktif Kembali Bangun Kepedulian Sosial
Radio Idola Semarang
Radio Idola Semarang menghayati semangat Positive Journalism. Radio Idola Semarang, Memandu Dan Membantu.