Semarang, Idola 92.6 FM – Tumpukan sampah saat ini ada di mana-mana. Mungkin Anda juga melihat sendiri kondisi ini. Bahkan, sejumlah tempat pemrosesan sampah akhir atau TPA juga mengalami overload karena kapasitas tak lagi memadai. Bisa dikatakan, darurat sampah mulai melanda berbagai wilayah terutama di perkotaan. Termasuk, di kota kita, Semarang.
Undang-undang Nomor 18 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah telah mengatur kewajiban warga negara, baik skala rumah tangga, pengelola usaha, maupun perkantoran dalam pengelolaan sampah. Termasuk, mengurangi, menangani, dan membuang sampah pada tempatnya. Menjalankan amanat undang-undang, masyarakat diharapkan berperan aktif dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan pemerintah.
Namun, keberadaan Undang-undang Pengelolaan Sampah itu serupa dengan banyak payung hukum lainnya di negeri ini yang hanya tegas di atas kertas. Pada kenyataannya, sampah sebagai sesuatu yang harus dibuang begitu saja, tanpa dikelola, masih mengkristal kuat di pikiran public.
Dampaknya, sejumlah TPA baru menjalankan sistem kumpul-angkut-buang sampah tanpa pengolahan semestinya. Sehingga, dalam waktu cepat, sampah yang terkumpul melebihi kapasitas. Secara alami, hal itu memicu pembuangan akhir sampah liar bermunculan di banyak tempat—baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Atas kondiisi darurat sampah ini pula, selain upaya konvensional muncul gagasan TPA berbayar sebagai alternatif solusi makin menumpuknya sampah serta overload-nya TPA resmi.
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto; Pengamat lingkungan dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof Syafrudin; dan Staf Pelibatan Publik Greenpeace Indonesia, Abdul Ghofar. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: