Semarang, Idola 92,6 FM-Forum Jaminan Sosial (Jamsos) Pekerja dan Buruh menolak tegas rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu ruang perawatan, yang akan berlaku mulai 1 Juli 2025.
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi menurunkan kualitas layanan kesehatan, bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) khususnya pekerja dan buruh.
Koordinator Forum Jamsos Pekerja dan Buruh Jusuf Rizal mengatakan langkah pemerintah menghapus sistem kelas 1, 2 dan 3 di layanan rawat inap JKN, justru dapat menurunkan kualitas perawatan serta memersempit akses terhadap layanan kesehatan. Pernyataan itu disampaikan melalui siaran pers, Kamis (22/5).
Menurut Jusuf, pihaknya juga mengkritik keras absennya pelibatan masyarakat pekerja dalam proses perumusan kebijakan KRIS.
“Tidak pernah ada keluhan dari pekerja terkait kelas rawat inap 1, 2 dan 3. Saat ini pekerja atau buruh memiliki hak pelayanan rawat inap di kelas 1 atau 2, yang jumlah tempat tidurnya antara satu sampai tiga tempat tidur, sehingga bila nanti diturunkan ke empat tempat tidur maka ini akan menurunkan kualitas layanan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. Pekerja/Buruh sudah membayar iuran cukup besar untuk iuran program JKN,” kata Jusuf.
Jusuf menjelaskan, Forum Jamsos Pekerja dan Buruh juga menilai kebijakan KRIS dapat mendorong peningkatan pengeluaran pribadi (out of pocket) bagi peserta JKN yang mungkin terpaksa membayar selisih biaya jika ingin mendapatkan layanan lebih baik.
Forum Jamsos Pekerja dan Buruh khawatir, rencana tersebut akan memerburuk kondisi keuangan JKN terutama jika iuran tunggal bagi peserta mandiri tidak sesuai prinsip gotong royong sebagaimana amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
“Forum Jamsos Pekerja dan Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja menolak KRIS satu ruang perawatan dan sistem iuran tunggal, serta meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan pekerja,” jelasnya.
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Tulis Abadi menambahkan, skenario kebijakan KRIS satu kelas justru merugikan peserta JKN secara keseluruhan, terutama dari sisi pembiayaan.
“Dengan kebijakan ini, khususnya peserta JKN kelas 3 akan mengalami kenaikan iuran. Mereka dipaksa naik ke kelas 2, dan harus merogoh kocek lebih dalam. Ini sangat memberatkan, terutama bagi peserta mandiri dari kelompok ekonomi bawah,” ujar Tulus.
Sementara Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Nunung Nuryartono menyatakan, pihaknya mengapresiasi aspirasi dari Forum Jamsos Pekerja dan Buruh serta Konfederasi Serikat Pekerja.
Menurut Nunung, saat ini penerapan regulasi masih terus berproses.
“Kami mencermati bahwa setiap kebijakan yang dihasilkan diharapkan tidak akan menimbulkan kegaduhan yang tidak kita inginkan, manfaat yang ada dalam layanan JKN diharapkan tidak turun dan dipertahankan. Berbagai persoalan mendasar seperti ketahanan finansial DJS juga perlu diperhatikan tanpa menurunkan manfaat. Kami akan mengawal itu semua,” imbuh Nunung.
Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timbul Siregar memahami keberatan yang disuarakan Forum Jamsos Pekerja dan Buruh serta konfederasi serikat pekerja terhadap rencana ini.
Dirinya menyoroti persoalan keterbatasan fasilitas rawat inap, yang saat ini belum siap.
“Kami khawatir jika hanya ada satu kelas rawat inap, dengan kondisi tempat tidur yang terbatas di rumah sakit, peserta JKN yang sedang sakit bisa tidak mendapatkan ruang. Lalu mereka mau dititipkan di mana? Kami takut mereka malah ditawari menjadi pasien umum non-JKN. Kondisi saat ini karena ada 3 kelas, jika salah satu kelas penuh bisa dititip di kelas di atasnya, sehingga tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan,” ujar Timbul. (Bud)