
Kendal, Idola 92.6 FM-Seorang penjaga toko atau pramuniaga di Desa Bebengan Kecamatan Boja berhasil meraih anugerah Kendal Cerpen Award 2025 atas cerpen yang ditulisnya. Cerpen yang mengisahkan sejarah heroik warga Boja dalam peristiwa Bumi Hangus Boja tahun 1947 itu berjudul “Empat Jam Api di Boja.”
Ia adalah cerpenis muda, Intan Tika Sari. Karyanya berhasil menyisihkan belasan karya peserta lain. Ia menjadi yang terbaik dalam penganugerahan Kendal Cerpen Award (KCA) 2025 yang digelar di Ruang Terbuka Hijau Kalireyeng Kebondalem Kendal Jawa Tengah, Minggu (26/10) siang. Capaian Intan diumumkan oleh Perwakilan Dewan Juri, Sawali Tuhusetya didampingi Heri CS, anggota juri merangkap penyelenggara KCA 2025. KCA 2025 diselenggarakan secara kolaborasi oleh Komunitas Lerengmedini (KLM) Boja, Sangkar Arah Pustaka Kangkung, Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) Kaliwungu, dan Jarak Dekat Art Production Kangkung.
Atas capaian ini, Intan yang berasal dari Dusun Kemiri Ciut RT 02 RW 03 Desa Singorojo Kecamatan Singorojo Kendal, berhak membawa pulang seekor kambing betina peranakan Etawa sebagai hadiah juara 1 beserta paket hadiah lainnya dari panitia.
Intan saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Terbuka Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ekonomi Pembangunan. Di sela-sela kuliah, ia juga nyambi bekerja sebagai penjaga toko (pramuniaga) di Toserba Margo Mulyo Bebengan Boja.
“Sehari-hari, kerja di toko, kadang masuk pagi, kadang masuk siang. Makanya, ini nanti saya hanya bisa sampai jam 1 siang di acara ini (penganugerahan KCA 2025-red). Karena, mesti masuk kerja,” ujar Intan sembari tersenyum.
Dara kelahiran Kendal, 9 Mei 2002 ini sama sekali tak menyangka, naskah yang mengusung sejarah Pertempuran 4 Jam di Boja itu menarik dewan juri. Bahkan, ia mengaku, mengirim cerpennya, di hari akhir masa pengiriman cerpen. “Sama sekali gak nyangka bisa juara. Karena yang saya pikirkan penting ikut buat pengalaman dan tidak terlalu berharap juara. Terima kasih buat penyelenggara KLA 2025,” kata lulusan SMAN 1 Boja tahun 2020.
Saat ditanya, kambing hadiah ini akan diapakan? Intan menjawab dengan tersenyum, akan dipelihara karena kebetulan ayahnya juga memelihara kambing di rumah. “Kambing bapak yang dipelihara ada 8. Nanti yang kambing etawa ini, biar sekalian diingoni bapak,” ujar putri dari Bapak Sapari dan Ibu Rozanah ini.
Ide dari Kisah Guru dan Riset Sejarah
Saat ditanya mengenai ide mencipta cerpen “Empat Jam Api di Boja,” Intan menjabarkan, cerpen berlatar sejarah pertempuran 4 jam di Boja itu terinspirasi dari cerita gurunya dahulu saat sekolah. Dari itu, ia kemudian menggali kembali dengan melakukan riset. Riset dilakukan melalui membaca artikel serta jurnal sejarah yang memuat informasi tentang Peristiwa Bumi Hangus Boja yang terjadi pada akhir Juli 1947.
“Motivasi saya menulis cerpen sejarah ini untuk memotivasi agar semua orang paham sejarah. Misalnya, di Boja ada sejarah persitiwa bumi hangus Boja tahun 1947. Orang-orang Boja banyak yang tak tahu sejarah itu,” harap cerpenis yang mengidolakan sosok sastrawan Sapardi Djoko Damono ini.
Selengkapnya, daftar juara dan harapan KCA 2025, yakni: Juara 1 : Intan Tika Sari (Empat Jam Api di Boja) total nilai 257; Juara 2 : Muhammad Fauzi asal Kaliwungu dengan (Jan) total nilai 250; dan Juara 3 : M. Abdul Daffa asal Kaliwungu (Bayangan Hitam di Pabrik Gula) total nilai 248. Sementara, untuk naskah apresiasi Dewan Juri: naskah Pilihan Juri 1 : Abdullah Khanif (Mata Hati) total nilai 245, dan naskah Pilihan Juri 2 : Sabrina Aulia Muslimah (Dahana) total nilai 240. Dewan juri dalam sayembara ini terdiri dari: Sawali Tuhusetya (cerpenis/guru), Arif Fitra Kurniawan (cerpenis/penyair/esais), dan Heri CS (jurnalis/ pegiat literasi).
Para pemenang masing-masing mendapatkan apresiasi: Juara I: seekor kambing betina peranakan etawa, plakat, piagam penghargaan, paket buku, dan paket kain; Juara II: seekor cempe (anak kambing), plakat, piagam penghargaan, paket buku, dan paket kain; dan Juara III: sepasang ayam, plakat, piagam penghargaan, paket buku, dan paket kain. Dua naskah yang mendapat Apresiasi Dewan Juri, mendapatkan seekor bebek, plakat, piagam penghargaan, paket buku, dan paket kain.
Menurut Ketua Panitia KCA 2025 M. Lukluk Atsmara Anjaina, karya Intan berhasil mengungguli 16 peserta lain yang berasal dari berbagai kecamatan di Kendal. Keenambelas peserta yakni: Abdullah Khanif, Arga Putra Waskita, Asva Maulida, Dewi Azzahroh, Dwi Purwanti, Eka Putra Arfiandi, Fidelya Ata, Intan Aurelia, Karunia Kamila Syifa, M. Abdul Daffa, M. Azka Ulin Nuha, Muhamad Fauzi, Muhammad Irhamni Sabil, Rendi Raditya Pratama, Sabrina Aulia Muslimah, dan Zulfania Mustakaningrum.
“Hajatan KCA 2025 ini tercatat sebagai sayembara yang kami selenggarakan dengan jumlah peserta terbanyak. Harapan kami, ke depan, semakin banyak peserta yang ikut dalam sayembara serupa ke depan,” ujar Lukluk yang juga sekretaris Pelataran Sastra Kaliwungu.
Menurut Lukluk, agar semangat berproses kreatif peserta tak berhenti, panitia berencana membukukan karya peserta dalam sebuah antologi. Sebelumnya, akan dilakukan semacam coaching clinic pada semua peserta. “Harapannya, ini bisa menjadi sarana untuk terus meningkatkan kualitas tulisan teman-teman ke depan, dan mereka terus produktif menulis cerpen,” harap Lukluk yang baru saja menjadi sarjana di kampus FIB Undip Semarang.
Tak lupa, Lukluk, mewakili segenap kerabat kerja penyelenggara menyampaikan terima kasih pada banyak pihak yang mendukung kegiatan ini.
Berharap Jadi Tonggak Lahirnya Para Cerpenis
Sementara itu, Sawali Tuhusetya, menyatakan, untuk pertama kalinya, sebuah event lomba allias kompetisi yang dinilai cukup bergengsi dan prestisius di ranah sastra digelar di Kabupaten Kendal, yakni Kendal Cerpen Award 2025.
“Sebagai bagian dari masyarakat pencinta sastra, tentu saya menyambut gembira event itu. Dan, tentu saja event ini sekaligus juga menjadi pemantik buat penggagas dan panitia agar tetap konsisten dalam menjaga dan merawat marwah Sayembara Wedus Kendal Award,” ujar cerpenis yang karya-karyanya dibukukan dalam Antologi Cerpen Topeng ini.
Sawali mengapresiasi ke-17 naskah para peserta. Terlepas dari masih adanya kelemahan karya sebagian peserta, itu adalah bagian dari proses masing-masing. Ia berharap, ke depan, mereka tak berhenti di sini. Terus berkarya.
Menurut Sawali, angka keramat “17” cerpen peserta ini, diakui atau tidak, telah menjadi tonggak dan entry-point lahirnya cerpenis-cerpenis muda di Kendal. Kehadiran 17 cerpenis muda ini tentu perlu kita apresiasi dan sambut gembira. Di tengah situasi peradaban yang makin pongah dan kurang ramah terhadap sastra, termasuk cerpen, kehadiran 17 cerpenis ini diharapkan mampu menjadi penjaga peradaban yang akan terus merawat dan mengeksplorasi total terhadap nilai-nilai kearifan lokal melalui teks-teks cerpen yang “liar” dan mengejutkan.
“Sehingga Kendal tidak larut menjadi “Indonesia” yang tertinggal dalam ranah sastra, bahkan kebudayaan,” tutur cerpenis dan pensiunan guru ini.
Menulis adalah Pekerjaan Susah
Sementara itu, Arif Fitra Kurniawan, anggota dewan juri menilai, dari pembacaan pada cerpen-cerpen peserta KCA 2025, banyak cerpen yang menunjukkan bahwa tulisan-tulisan tersebut dikerjakan dengan semangat alakadar, alajadi. Ketidakjelian pengerjaan ini mengakibatkan cerita pendek milik para peserta sayembara tidak menemukan kekuatannya. “Karakter cerita yang terkesan hitam-putih, dialog-dialog antar karakter yang benar-benar klise dan cenderung mengulang-ulang deskripsi sebelumnya pada cerita, serta latar yang semestinya bisa digunakan untuk mendorong alur atau menguatkan motif milik tokoh bergerak mengatasi konflik-pun tidak digunakan oleh para penulis dengan baik, ujar cerpenis cum penyair yang mengelola ruang komunal Bacabukudulu di Semarang.
Pegiat komunitas Lacikata itu menuturkan, ketidakjelian juga terlihat pada bagaimana para peserta dalam menginterpretasikan tema sayembara. Beberapa cerpen yang mengambil topik sejarah dengan latar waktu pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan Indonesia, misalnya; para pengarang menempatkan kesejarahan tersebut cuma sebagai ornamen. Ada satu—dua cerpen mengolah mitos dan legenda, dan jatuh pada pengisahan garing dan kopong , sebab mereka sama sekali tak menempatkan mitos dan legenda itu sebagai sesuatu yang mestinya lebur secara organik bersama perangkat-perangkat instrinstik cerita pendek; tokoh, plot, latar, dan konflik cerita.
“Jika kemudian sebagai juri kemudian saya menyaring dan memberi “nilai”, itu adalah upaya pembacaan berlapis-lapis dari ketujuhbelas cerita pendek yang datang, lantas menemukan sedikit saja dari keseluruhan karangan cerita milik para peserta yang dalam hemat pembacaan saya; cerpen-cerpen tersebut paling sedikit memiliki ketelodoran dalam kesalahan minor (tanda baca, tipografi, penulisan dialog dan sebagainya), gagasan segar yang ditawarkan plus cara keleburan gagasan tersebut dengan struktur penceritaan, serta bagaimana penulis mengupayakan cerita karangannya utuh terbaca,” jelas penulis buku puisi Eskapis (2014).
Arif menekankan, dirinya masih percaya bahwa menulis, apapun bentuknya—entah itu sajak, cerita pendek, dan esai, adalah pekerjaan susah. Ketrampilan menulis adalah ketrampilan yang cuma bisa diraih dengan ketekunan memproduksi disertai pemikiran untuk belajar hal-hal teknis kekriyaannya secara intens dan terus-menerus.
“Terlepas dari hasil pembacaan kritis ini, saya mengapresiasi betul niat baik panitia penyelenggara, yang memiliki semangat, bahwa adat menulis—membaca harus dilestarikan di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang semakin tergerus oleh limpahan data dan potongan-potongan pendek teknologi audio-visual ini,” tandas periset di Majalah Hysteria ini. (tim/her)












