(photo/istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM-Belakangan ini, istilah rojali dan rohana kembali ramai diperbincangkan di media sosial maupun dunia usaha. Dua istilah tersebut merujuk pada perilaku konsumen yang sering dijumpai di pusat perbelanjaan atau mal. Rojali merupakan akronim dari “rombongan jarang beli” sedangkan rohana berarti “rombongan hanya nanya.”

Keduanya menggambarkan fenomena pengunjung mal yang datang beramai-ramai tetapi hanya melihat-lihat atau bertanya tanpa melakukan transaksi pembelian yang berarti. Meskipun bukan fenomena baru, kemunculan rohana dan rojali kini menjadi sorotan karena dinilai mencerminkan kondisi daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, fenomena rojali sebenarnya bukanlah tren yang tiba-tiba muncul, melainkan sudah terjadi sejak lama. Namun, menurut Alphonzus, intensitas fenomena ini meningkat seiring melemahnya daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan menengah ke bawah.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budihardjo Iduansjah menyebut, fenomena ‘rojali’ kini menjadi realitas baru yang tak terhindarkan di industri ritel. Ia menilai, ‘rojali’ justru mendongkrak omzet sektor food and beverage (F&B) dan mendorong transformasi strategi bisnis pelaku usaha.

Lalu, memahami fenomena “rojali” dan “rohana”; apa penyebabnya? Dan, apa saja dampak yang harus diantisipasi? Benarkah ini menunjukkan masih rendahnya daya beli di masyarakat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Eko Listianto (Direktur Institute for development of Economics and Finance (INDEF)) dan Roy N. Mandey (Chairman Affilitation Global Retail Association (AGRA)). (her/yes/dav)

Simak podcast diskusinya: