Semarang, Idola 92.6 FM – Diplomasi semestinya menjadi pegangan bagi penyelesaian konflik internasional. Namun, hal itu ternyata tak berlaku di Timur Tengah dalam konflik Israel-Iran. Komitmen diplomasi Amerika Serikat yang berada di belakang Israel terbukti tidak bisa dipegang dalam menyelesaikan konflik dengan Iran.
Amerika Serikat secara resmi melibatkan diri di konflik Iran-Israel. Amerika Serikat membantu Israel melaksanakan Operasi Singa Bangkit. AS-Israel menyerang tiga wilayah di Iran yang menjadi instalasi nuklir Iran, yaitu: Fordo, Isfahan, dan Natanz, Minggu (22/06) lalu.
Ketiga tempat itu diduga memiliki fasilitas pembuatan senjata nuklir. Fordo menurut laporan intelijen AS adalah yang terbesar. Fasilitas nuklirnya berada 200 meter di bawah tanah dan dibuat dari beton yang diperkuat.
Aksi Amerika Serikat ini mengundang reaksi keras sejumlah pemimpin dunia. Mereka mengecam aksi Donald Trump. Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutarakan kekecewaan atas eskalasi konflik. Ia meminta semua anggota PBB mengupayakan gencatan senjata dan perundingan damai.
Tak hanya para pemimpin, ribuan warga dari berbagai negara juga turut menggelar aksi unjuk rasa yang mengutuk serangan Amerika Serikat ke Iran.
Para pengamat internasional mengkhawatirkan perang tidak akan selesai dalam waktu singkat. Apalagi, AS kini sudah menceburkan diri. Ibaratnya, tidak mungkin Israel membiarkan AS hanya terlibat satu kali pengeboman lalu pergi.
Lalu, membaca eskalasi geopolitik Timur Tengah pasca serangan AS ke Instalasi nuklir Iran; apakah dunia sudah di ambang PD 3 atau masih ada peluang diplomasi atau deeskalasi? Apa sesungguhnya di balik pertimbangan AS menyerang Iran?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Kepala Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Dr Yon Machmudi.ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: