Semarang, Idola 92.6 FM-Beberapa waktu belakangan kita menyaksikan mencuatnya polemik di tengah masyarakat Kabupaten Pati terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang ditetapkan oleh Bupati Pati, Sudewo. Tak main-main, kenaikan fantastis itu mencapai 250 persen.
Spontan, kenaikan PBB tersebut telah memicu reaksi publik. Bahkan, respons keras dari masyarakat, berpuncak pada protes dari berbagai lapisan warga di Kabupaten Pati. Pekan depan, warga yang tergabung dalam Masyarakat Pati Bersatu berencana melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menolak kebijakan kenaikan PBB sebesar 250 persen itu.
Sementara itu, dalam keterangannya pada wartawan, Bupati Pati Sudewo menyebut, penyesuaian PBB hingga 250 persen telah disepakati camat dan anggota Paguyuban Kepala Desa se-Kabupaten Pati atau Pasopati. Sudewo menuturkan, kenaikan 250 persen jadi terlihat besar karena dilakukan langsung, tidak bertahap. Namun, menurutnya sejak 14 tahun terakhir/ belum ada kenaikan PBB di Pati.
Isu ini sesungguhnya tidak hanya menyangkut teknis perpajakan atau nominal kenaikan semata. Lebih dari itu, dari sudut pandang yang lebih mendasar, polemik ini juga menyangkut proses kebijakan publik disusun dan diputuskan.
Lalu, menyoroti polemik kebijakan Bupati Pati yang menaikkan PBB 250 persen sehingga memicu demonstrasi warga, bagaimana sebenarnya proses kebijakan publik disusun dan diputuskan? Sejauhmana partisipasi publik telah diakomodasi secara memadai oleh Pemda setempat. Dan, apakah kebijakan Bupati Pati ini sejalan dengan semangat otonomi daerah dan asas keadilan sosial?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)/pernah menjabat sebagai Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof Djohermansyah Djohan. (her/yes/dav)
Simak podcast diskusinya: