
Semarang, Idola 92,6 FM-Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut, ada dua jenis konflik yang kerap muncul di bidang pertanahan.
Konflik yuridis biasanya dipicu sengketa dokumen, dan konflik fisik terjadi akibat tidak jelasnya batas lahan karena hanya mengandalkan tanda-tanda alamiah.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengatakan pentingnya partisipasi aktif masyarakat, dalam memasang tanda batas di bidang tanah masing-masing. Hal itu dikatakan di sela pencanangan Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas (GEMAPATAS) di Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, kemarin.
Menurut Nusron, gerakan tersebut bertujuan mengurangi potensi konflik lahan di masyarakat.
Patok yang dipasang pemilik tanah dengan disaksikan pejabat terkait, sebagai bentuk kesepakatan batas dengan pemilik tanah di sekitarnya.
Nusron menjelaskan, pemasangan patok batas juga mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi konflik agraria dan memercepat legalisasi aset.
Penetapan tanah terlantar tidak berlaku sembarangan, dan tidak akan menyasar lahan rakyat kecil.
“Tanah yang diberikan hak guna usaha atau hak guna bangunan tapi tidak dimanfaatkan selama dua tahun, bisa ditetapkan sebagai tanah terlantar dan diambil alih oleh negara. Prosesnya melalui serangkaian peringatan yang berlangsung hingga 587 hari. Tapi tanah masyarakat, jangankan seribu meter, lahan 200 meter saja pasti dimanfaatkan. Yang menjadi perhatian adalah tanah HGU/HGB skala besar yang mangkrak,” kata Nusron.
Sementara Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menambahkan, pihaknya telah meminta seluruh bupati/wali kota untuk mengintensifkan sosialisasi dan pelaksanaan pemasangan patok di wilayah masing-masing.
Pelaksanaan pemasangan patok di Jateng dapat rampung secepatnya, dan akan efektif dalam mencegah tumpang tindih lahan serta memerkuat kepastian hukum bagi masyarakat.
“Sosialisasi ini penting dan pelaksananya penting. Nanti dari bupati bisa memerintahkan ke seluruh kepala desa agar pelaksanaan ini secara maksimal dilakukan,” ujar Luthfi. (Bud)