Pemerintah menegaskan platform digital yang beroperasi di Indonesia agar mematuhi aturan hukum terkait penanganan konten bermuatan disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) dan tidak membiarkannya berkembang berlarut-larut guna menjaga demokrasi dan ruang digital yang sehat. Pesan ini disampaikan dalam diskusi bersama antara media massa dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, Wakil Menteri Komunikasi Digital Angga Raka Prabowo, dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar, Selasa (26/8). (Foto Dok Biro Sekretariat Presiden)

Jakarta, Idola 92.6 FM-Pemerintah menegaskan platform digital yang beroperasi di Indonesia agar mematuhi aturan hukum terkait penanganan konten bermuatan disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) dan tidak membiarkannya berkembang berlarut-larut guna menjaga demokrasi dan ruang digital yang sehat.

Pesan ini disampaikan dalam diskusi bersama antara media massa dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, Wakil Menteri Komunikasi Digital Angga Raka Prabowo, dan Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar, Selasa (26/8).

Kepala PCO membuka diskusi dengan menyampaikan keprihatinan atas maraknya DFK di jagad internet.

“Makin ke sini itu tak hanya makin serius, tapi makin profesional. Dan ini bisa saja tidak hanya membuat kegaduhan tapi juga meresahkan. Bisa memecah belah bangsa bahkan bisa menghambat pembangunan kita,” ujar Hasan, dalam siaran pers, Biro Sekretariat Presiden.

Hasan mengatakan PCO telah membangun kanal resmi cek fakta yaitu @cekfakta.ri dan mengapresiasi media massa yang sudah memiliki platform cek fakta. Ia juga mendorong media lainnya yang belum memiliki platform tersebut agar juga melakukan hal serupa.

“Karena PCO sebenarnya, pemerintah tidak mau memonopoli cek fakta. Tapi kan harus ada yang memulainya. Harus ada yang menginisiasinya,” katanya.

Sementara itu, Angga menekankan bahwa negara hadir untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk ruang digital. Ia juga secara khusus menyampaikan pesan kepada perusahaan teknologi untuk menjaga demokrasi dan ruang digital.

“Kami sampaikan kepada para pemilik platform yang beroperasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk juga patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi kalau memang ada konten-konten yang isinya sudah jelas-jelas itu dalam kategori DFK, kita juga meminta platform untuk secara by system, secara otomatis juga menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.

Angga mencontohkan fenomena rekayasa komentar bot di media sosial yang mencederai demokrasi.

“Teman-teman juga lihat, misalnya di salah satu platform, komentarnya itu engineered by robot. Kita meminta platform juga menindak hal ini,” katanya.

Sementara itu, Alexander menegaskan bahwa platform wajib melakukan moderasi konten secara mandiri.

“Para platform. Terutamanya yang kita sebut sebagai user-generated content ini. Sebenarnya di pihak mereka itu ada kewajiban mereka untuk melakukan moderasi konten secara mandiri. Jadi mereka bisa melihat konten-konten yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-perundangan kita untuk bisa dilakukan filtering,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah pun sudah memiliki sistem kepatuhan.

“Yang menuntut mereka [platform] untuk patuh terhadap aturan itu, yang jika tidak dipatuh oleh mereka itu bisa dikenakan sanksi administratif. Sampai kepada pemutusan akses pembukaan. Bahkan delisting dari penyelenggaraan sistem elektronik di negara,” jelas Alexander.

Pemerintah menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk membungkam kebebasan berekspresi, tetapi melindungi masyarakat dari manipulasi digital.

“Bukan kita mau membungkam atau menghalangi kebebasan berekspresi. Penyampaian aspirasi, berpendapat ya di dalam koridor demokrasi boleh. Silakan. Tapi di dalam koridor yang baik, bukan hal yang untuk anarkis,” ujar Angga. (her/dav)