
Semarang, Idola 92,6 FM-Polda Jawa Tengah menegaskan aksi demonstrasi yang berujung rusuh pada Agustus 2025 kemarin bukan lagi bentuk penyampaian pendapat, melainkan sudah mengarah pada tindakan anarkis.
Sementara Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan banyak disinformasi, yang memerkeruh suasana.
Kabag Wasidik Ditreskrimum Polda Jateng AKBP Prawoto mengatakan unjuk rasa merupakan hak warga negara yang dijamin Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, namun hak itu harus dijalankan sesuai aturan dan dengan tanggung jawab. Hal itu dikatakan di acara dialog bertema “Demo Rusuh atau Perusuh Demo” yang digagas FWPJT dan didukung Bank Jateng di kantor gubernur, Kamis (9/10).
“Koordinator aksi wajib tahu siapa yang ikut dan apa tujuannya. Kalau ada penyusup yang memicu kerusuhan, tanggung jawab tetap pada koordinator,” kata Prawoto.
Menurutnya, pada kejadian Agustus 2025 di Semarang, situasi awalnya berlangsung kondusif sebelum berubah menjadi bentrokan.
Massa mulai melempari petugas, membakar barang hingga mencoba menerobos gerbang Mapolda.
“Itu bukan lagi demonstrasi, tapi tindakan perusuh. Polisi mencatat sejumlah anggotanya menjadi korban lemparan batu dan bom molotov. Sejumlah pelaku diamankan, dan sebagian masih berstatus pelajar. Ada yang ikut karena ajakan teman, diiming-imingi, bahkan karena termakan isu dari media sosial,” jelasnya.
Sementara perwakilan Mafindo Syifaul Arifin menilai, kerusuhan tersebut tak lepas dari maraknya disinformasi di media sosial sejak akhir Agustus hingga awal September 2025.
Syifaul menyebut, platform TikTok menjadi sarana paling dominan dalam penyebaran narasi palsu.
Beberapa hoaks yang beredar di antaranya menuding demonstrasi ditunggangi kelompok PKI, isu konspirasi asing yang melibatkan lembaga luar negeri hingga video lama dan hasil editan yang disebarkan ulang seolah kejadian baru.
“Disinformasi bukan penyebab langsung kerusuhan, tapi mempercepat kemarahan publik dan mendorong banyak orang ikut aksi. Konten seperti ini memperkeruh keadaan karena masyarakat belum memiliki literasi digital yang kuat. Orang mudah percaya tanpa verifikasi,” ucap Syifaul.
Syifaul menyebutkan, faktor utama di balik kerusuhan adalah kombinasi antara frustrasi publik dan rendahnya literasi media.
Kekecewaan terhadap kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah menjadi bahan bakar sosial, sedangkan disinformasi menjadi percikan api.
“Kasus demo rusuh Agustus menjadi pelajaran penting, bahwa disinformasi di media sosial dapat memicu kekacauan nyata di lapangan. Ketika literasi digital rendah dan emosi publik tinggi, batas antara demonstrasi damai dan kerusuhan bisa hilang seketika,” pungkasnya. (Bud)