Perdamaian Aceh harus konsisten dijaga oleh semua pihak, baik itu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat maupun tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Karena perdamaian Aceh tidak dicapai dengan mudah, perdamaian Aceh didapatkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Untuk itu harus terus dijaga dengan seksama. Hal itu itu dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan, Jumat (26/12). (Photo/Istimewa)

Jakarta, Idola 92.6 FM-Perdamaian Aceh harus konsisten dijaga oleh semua pihak, baik itu dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat maupun tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Karena perdamaian Aceh tidak dicapai dengan mudah, perdamaian Aceh didapatkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Untuk itu harus terus dijaga dengan seksama.

Hal itu itu dikatakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Iwan Setiawan, dalam siaran persnya, Jumat (26/12). Menurutnya, pengibaran bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemarin tidak boleh dinormalisasi. Bendera GAM memiliki makna ideologis dan politis yang kuat.

“Simbol tersebut secara historis melekat pada gerakan separatis bersenjata. Karena itu, kemunculannya di ruang publik tidak bisa dianggap sebagai ekspresi biasa,” kata Iwan.

Menurut Iwan, pengibaran simbol separatis menunjukkan masih adanya residu ideologi separatis atau indikasi separatisme laten. “Negara tidak bisa menormalisasi simbol yang bertentangan dengan kedaulatan. Jika dibiarkan, berpotensi memicu efek domino dan eskalasi simbolik,” tuturnya.

Ditemukannya senjata api dan senjata tajam mengubah konteks dari simbolik ke ancaman keamanan. Kehadiran senjata menunjukkan potensi kekerasan, bukan sekadar ekspresi pendapat. Ini harusnya menjadi alasan kuat bagi aparat untuk bertindak cepat dan terukur.

“Bisa dikatakan, aksi di lapangan yang kita lihat kemarin diperkuat oleh provokasi di media sosial. Narasi digital yang ada dimanfaatkan, dibangun untuk menghasut emosi dan memelintir persepsi publik. Media sosial menjadi medium utama separatisme kontemporer,” tuturnya.

Ia melihat, bencana banjir bandang juga dieksploitasi. Provokasi muncul di saat masyarakat Aceh sedang berduka akibat bencana. Kondisi emosional masyarakat dimanfaatkan untuk membangun rasa ketidakadilan. Ini memperbesar risiko konflik horizontal dan delegitimasi negara.

Menurutnya, upaya mendiskreditkan peran negara dalam narasi penanganan bencana juga bisa kita saksikan akhir-akhir ini. Narasinya seperti kerap meniadakan peran TNI, Polri, SAR, relawan, dan pemerintah. Fakta bantuan dan kerja pemulihan sengaja dihilangkan dari framing. “Tujuannya membangun persepsi bahwa negara abai atau menindas,” katanya.

Iwan menyatakan, tindakan aparat di lapangan juga mulai dipersepsikan sebagai upaya intimidasi atau represi. Ini adalah pola umum dalam gerakan separatis untuk mencari simpati. Padahal, dari sudut keamanan, penindakan justru bertujuan mencegah konflik.

Untuk itu, menurut Iwan, penting adanya respons tegas tetapi persuasif dalam situasi seperti ini. Pendekatan persuasif penting untuk mencegah trauma masa lalu. Namun, ketegasan tetap diperlukan agar tidak muncul ruang pembenaran separatisme. Keseimbangan ini krusial untuk menjaga stabilitas Aceh.

“Karena perdamaian di Aceh adalah hasil proses panjang dan mahal. Maka, setiap simbol, narasi, dan provokasi yang mengarah ke separatisme mencederai komitmen damai. Menjaga perdamaian berarti menutup semua ruang bagi kebangkitan simbol konflik masa lalu,” tandasnya. (her/dav)