Direktur Utama PT ASDP Ira Puspadewi tidak perlu menjalani hukuman pidana usai mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. (ANTARA FOTO)

Jakarta, Idola 92.6 FM-Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga mantan pejabat ASDP—dalam perkara No. 68 Pidsus TPK 2025 PN Jakarta Pusat—menjadi penegasan bahwa negara tidak hanya memiliki fungsi menghukum, tetapi juga memulihkan. Kebijakan ini bukan hasil keputusan sepihak, melainkan respons atas aspirasi publik yang disampaikan melalui jalur konstitusional oleh DPR RI, serta kajian hukum menyeluruh dari pemerintah.

Demikian disampaikan Iwan Setiawan, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, dalam siaran persnya kepada radio Idola Semarang, baru-baru ini. “Kita menyaksikan bahwa proses ini lahir bukan dari tekanan politik, tetapi dari konsensus antara aspirasi rakyat dan pertimbangan hukum yang matang,” kata Iwan.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam keterangannya menegaskan bahwa sejak Juli 2024, berbagai aduan masyarakat mengenai kasus ASDP diterima DPR. Aspirasi tersebut kemudian tidak berhenti pada ruang keluhan, tetapi diolah melalui mekanisme konstitusional: pengkajian oleh Komisi Hukum DPR yang melibatkan pakar serta analisis mendalam terhadap proses penyelidikan. Hasilnya disampaikan kepada pemerintah agar negara meninjau kembali putusan yang dinilai mengandung persoalan substansial keadilan.

Berbarengan dengan itu, pemerintah melalui Kementerian Hukum juga menerima berbagai masukan masyarakat. Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa pemerintah melakukan telaah internal dan mendapat rekomendasi resmi dari Menteri Hukum agar Presiden mempertimbangkan penggunaan hak rehabilitasi. Proses ini dibahas dalam rapat terbatas sebelum akhirnya Presiden Prabowo memutuskan untuk menandatangani pemulihan nama baik tiga mantan direksi ASDP: Ira Puspa Dewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Hari Muhammad Adhi Caksono.

Menurut Iwan Seiawan, langkah ini menunjukkan sebuah pesan penting: negara tidak membiarkan pelayan publik dibiarkan sendirian ketika menghadapi proses hukum yang berpotensi keliru. Rehabilitasi dari Presiden bukanlah “kebaikan hati personal”, tetapi sebuah koreksi negara terhadap potensi ketidakadilan.

“Keputusan ini membuktikan bahwa mekanisme demokrasi bekerja sesuai ruhnya: aspirasi rakyat diterima di DPR, dianalisis dengan dasar hukum, lalu pemerintah bertindak melalui kajian institusional. Ini adalah praktik tata kelola hukum yang sehat,” ujarnya.

Lebih jauh, lanjut Iwan, keputusan rehabilitasi ini memberi dampak psikologis yang sangat signifikan bagi lingkup BUMN dan penyelenggara pelayanan publik. Dalam ekosistem layanan publik yang padat regulasi, ketakutan untuk mengambil keputusan sering kali lebih besar daripada keberanian untuk berinovasi. Ketika risiko kriminalisasi muncul meski seseorang bekerja sesuai prosedur, inovasi mandek dan pelayanan publik terhambat.

“Pada titik ini, rehabilitasi bukan hanya soal tiga nama, melainkan sinyal bahwa negara hadir untuk memberi keberanian kepada profesional yang bekerja jujur,” ungkapnya.

Menurut Iwan, keputusan ini tidak meniadakan kewajiban penegakan hukum. Justru sebaliknya, keputusan ini menegaskan bahwa penegakan hukum harus dijalankan secara adil, transparan, dan proporsional. Negara tidak boleh sekadar menjadi mesin penghukum; negara juga wajib menjadi penjaga martabat warganya.

“Ketika prosedur hukum berpotensi melukai orang yang bekerja sesuai aturan, negara memiliki kewajiban moral untuk membetulkannya,” jelasnya.

Dalam konteks itulah, menurut Iwan, rehabilitasi ASDP harus dibaca, Pemerintah sedang membangun tata kelola baru dalam penanganan hukum terhadap pejabat publik. Negara menunjukkan bahwa profesionalisme dalam pelayanan publik dilindungi, bukan dikorbankan. “Bahwa penegakan hukum bukan hanya tugas penguatan sanksi, tetapi juga pemulihan nama baik ketika keadilan substansial harus ditegakkan,” katanya.

Keputusan Presiden Prabowo hadir sebagai respons terhadap suara publik, tetapi bukan sekadar populisme. Keputusan ini lahir dari kajian, rapat terbatas, dan mekanisme konstitusional yang ditempuh oleh DPR dan pemerintah. Ini adalah praktik demokrasi yang matang: berbasis aspirasi rakyat, diproses oleh institusi negara, dan diputuskan oleh kepala negara.

“Hari ini, ketika kebijakan rehabilitasi diumumkan secara terbuka oleh Wakil Ketua DPR RI, Mensesneg, dan Seskab, kita melihat negara tidak hanya berbicara soal hukuman, tetapi juga soal pemulihan. Dan di situlah kualitas sebuah pemerintahan diuji: bukan seberapa keras ia menghukum, melainkan seberapa berani ia mengoreksi ketika keadilan harus ditegakkan,” tuturnya.

Ke depan, Iwan berharap, keputusan ini menjadi fondasi bagi iklim kepastian hukum yang lebih sehat bagi para pelayan publik. “Karena negara yang kuat bukanlah negara yang banyak menghukum, tetapi negara yang berani memulihkan,” pungkasnya. (her/dav)

Artikel sebelumnyaPotret Belajar Menyenangkan Siswa SMP Samarinda dengan Papan Interaktif dari Prabowo
Radio Idola Semarang
Radio Idola Semarang menghayati semangat Positive Journalism. Radio Idola Semarang, Memandu Dan Membantu.