Memahami Perbedaan Antara Popularitas, Preferensi, dan Elektabilitas yang dinilai tidak lagi Linier

Apakah Ini Mengindikasikan Masyarakat Kita Kian Dewasa dalam Memilih?

Popularity + Review
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Survei Kompas baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat popularitas, kesukaan, dan elektabilitas partai politik tak linier. Artinya, tingginya tingkat kepopuleran tak berbanding lurus dengan tingkat kesukaan pada partai. Sehingga, diperlukan strategi untuk mengonversi popularitas dan kesukaan menjadi elektabilitas.

Mengacu pada survei Litbang Kompas pada 29 April hingga 10 Mei 2023, PDI Perjuangan meraih elektabilitas tertinggi, yaitu 23,3 persen atau meningkat 0,4 persen dibandingkan survei Januari 2023. Di urutan kedua, Gerindra, yang meningkat elektabilitasnya dari 14,3 persen menjadi 18,6 persen. Di urutan selanjutnya, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Nasdem. Adapun di papan tengah, dengan elektabilitas 2,9 persen hingga 5,5 persen ada PKB, PKS, PAN, Perindo, dan PPP.

Sementara itu, elektabilitas delapan parpol lain yang juga menjadi peserta Pemilu 2024, berada di bawah 2 persen.

Namun, jika ditilik dari tingkat kepopuleran partai,bsurvei menunjukkan bahwa Partai Golkar sebenarnya merupakan partai paling populer dengan angka 86 persen. Kemudian, PDI Perjuangan (83,8 persen), Demokrat (83,5 persen), dan Gerindra (81,2 persen). Delapan parpol lain memiliki angka popularitas berkisar 50-80 persen.

Ini berarti, tingginya tingkat kepopuleran tak linier dengan tingkat kesukaan pada partai. Maka, memahami perbedaan antara popularitas, preferensi (kesukaan), dan elektabilitas: apakah ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita kian dewasa dalam memilih?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Gun Gun Heryanto. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: