Semarang, Idola 92.6 FM – Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Idul Adha, dengan menyembelih hewan kurban sebagai wujud ketaatan dan pengorbanan. Namun, lebih dari sekadar ritual tahunan, Idul Adha sejatinya juga merupakan ajakan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang kian tergerus oleh masifnya gaya hidup individualisme dan kian menganganya ketimpangan sosial terutama yang sekarang terjadi di negeri kita.
Dalam kisah Nabi Ibrahim, kita melihat potret pengorbanan sejati. Peristiwa tersebut bukan sekadar kesiapan seorang ayah “mengorbankan” anaknya, Ismail tetapi juga kesanggupan menundukkan ego dan kepentingan pribadi demi menjalankan perintah Tuhan.
Seperti yang ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Yang diuji dari Ibrahim bukan nyawa anaknya, tapi kelurusan hati dan ketulusan iman.”
Dalam kisah qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, sosiolog Iran-Ali Syariati, memiliki perspektif menarik dalam menggali makna dari peristiwa tersebut. Menurutnya, “Ismail” dalam kisah tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai sosok anak dari nabi Ibrahim tetapi ia merupakan simbol dari dorongan nafsu dan ego yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada tuhan-Nya.
Lalu, merefleksi Idul Adha; bagaimana memaknai hari raya keagamaan agar tidak sekadar menjadi ritual semata?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarag berdiskusi dengan narasumber Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Prof. H.M. Mukhsin Jamil. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: