Sejumlah peserta yang mayoritas generasi muda, diajak mengenal jejak sejarah perkeretaapian di Kudus.

Semarang, Idola 92, 6 FM-KAI Daop 4 Semarang bersama komunitas pecinta kereta api Indonesian Railways Preservation Society (IRPS), Kereta Anak Bangsa (KAB), Komunitas Cerita Kudus Kota dan Lelana Walking Tour menggelar kegiatan “Telusuri Jejak Kereta Api di Kudus”, Minggu (22/6).

Lebih dari 60 peserta dari berbagai kalangan, diajak menelusuri sisa-sisa sejarah kejayaan perkeretaapian di Kudus.

Para peserta menyusuri rute sejauh dua kilometer dari kawasan eks Stasiun Kliwon (stasiun kereta api pertama di Kudus), menuju eks Stasiun Kudus di kawasan Wergu.

Manager Humas KAI Daop 4 Semarang Franoto Wibowo mengatakan peserta diajak menyaksikan langsung sisa-sisa peninggalan bersejarah seperti jalur rel lama, bangunan-bangunan bekas operasional kereta api, perangkat persinyalan serta jembatan besi peninggalan masa kolonial yang hingga kini masih berdiri kokoh.

Franoto menjelaskan, kegiatan tersebut merupakan bagian dari komitmen KAI untuk menggali dan melestarikan sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai sejarah panjang perkeretaapian di Tanah Air, khususnya di Kudus.

“Banyak generasi muda maupun warga Kudus sendiri yang belum mengetahui bahwa daerah ini dulu memiliki jaringan kereta api trem yang cukup maju dan bahkan memiliki stasiun besar yang menjadi denyut transportasi dan perekonomian wilayah ini. Melalui kegiatan ini, kami ingin membuka kembali ingatan sejarah itu agar tidak hilang ditelan zaman,” kata Franoto.

Menurut Franoto, jejak perkeretaapian di Kudus tak lepas dari kehadiran perusahaan trem swasta Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang mengembangkan jaringan trem di Kudus sejak akhir abad ke-19.

Jalur pertama dibangun dari Semarang menuju Joana melintasi Demak, Kudus dan Pati sepanjang total 87,2 kilometer.

Stasiun Kudus diresmikan, bersamaan dengan pembukaan lintas Demak-Kudus pada 15 Maret 1884.

“Stasiun pertama di Kudus dikenal sebagai Stasiun Kliwon, yang dibangun dari kayu sederhana berdekatan dengan alun-alun dan Pabrik Gula Rendeng sebagai bagian dari strategi SJS untuk menghubungkan pusat produksi gula dengan pelabuhan ekspor,” jelasnya.

Lebih lanjut Franoto menjelaskan, seiring pertumbuhan kota maka jalur trem dan stasiun dipindahkan ke Wergu pada 1919 dengan bangunan baru yang lebih megah lengkap dengan kanopi besi berhias kaca berwarna dan menjadikannya salah satu stasiun paling modern pada masanya.

Setelah masa kejayaannya, perlahan-lahan aktivitas perkeretaapian di Kudus menurun hingga akhirnya stasiun berhenti beroperasi pada 1980-an.

Melalui kegiatan tersebut, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian situs sejarah perkeretaapian sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.

“Kami berharap kegiatan seperti ini bisa dilaksanakan berkala, dan melibatkan lebih banyak pihak. Termasuk pemerintah daerah dan generasi muda, agar sejarah panjang perkeretaapian Indonesia tetap hidup dan memberi manfaat bagi masyarakat luas,” pungkasnya. (Bud)