Semarang, Idola 92.6 FM – Tragedi tenggelamnya kapal laut di Selat Bali kembali terulang. Kali ini terjadi pada Kapal Motor Penumpang Tunu Pratama Jaya yang tenggelam pada  Rabu dini hari (02/07). Kapal tenggelam saat dalam perjalanan dari Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi, Jawa Timur, menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali.

Kapal jenis roll-on roll-off atau kapal roro buatan tahun 2010 itu memiliki panjang 63 meter dan lebar 12 meter. Saat kejadian, kapal mengangkut 53 penumpang, 12 awak kapal, dan 22 unit kendaraan.

Berdasarkan data sementara dari Posko Tim SAR Gabungan di Dermaga Penyeberangan Ketapang, hingga tadi malam, tercatat 29 penumpang ditemukan selamat dan enam orang tewas.

Saat ini fokus utama Basarnas dan tim gabungan adalah penyelamatan  serta pencarian korban. Adapun investigasi penyebab kecelakaan akan ditangani Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Kecelakaan kapal laut di Selat Bali ini  bukan kali pertama terjadi. Dalam lima tahun terakhir, telah terjadi lima kali kecelakaan laut di Selat Bali. Semua kecelakaan tersebut berakhir dengan tenggelamnya kapal, kecuali pada 2022 berupa kandasnya kapal akibat surutnya air pelabuhan di Gilimanuk.

KMP Tunu Pratama Jaya merupakan kapal yang mengalami kasus kecelakaan setidaknya dua kali dalam kurun lima tahun ini. Dahulu karena terjebak pasang-surut dermaga, kini mengalami kebocoran, mati mesin, terseret arus, dan akhirnya tenggelam pada Rabu lalu menjelang dini hari.

Lalu, mengapa tragedi tenggelamnya kapal laut di Selat Bali kembali berulang? Ini karena faktor alam atau lemahnya mitigasi? Belajar dari tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya/ apa yang mesti dibenahi dari aspek keamanan & kenyamanan bertransportasi? 

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang membahasnya dengan narasumber: Dr Alfa Narendra (Akademisi/pengamat transportasi dari Universitas Negeri Semarang) dan Muhammad Fathoni (Dari Forum Transportasi Maritim – Masyarakat Transportasi Indonesia). (her/yes/dav)

Simak podcast diskusinya: