ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM-Dalam beberapa bulan belakangan ini, publik di berbagai daerah dikejutkan oleh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang fantastis alias ugal-ugalan. Beberapa daerah itu seperti Kabupaten Pati, Cirebon, Jombang, hingga Bone. Alasan resmi Pemda menaikkan PBB umumnya berkisar pada “penyesuaian NJOP” atau “optimalisasi pendapatan asli daerah” (PAD). Khusus di Kabupaten Pati yang diwarnai demo besar-besaran warga–rencana kenaikan PBB 250 persen dibatalkan setelah Presiden Prabowo Subianto menegur Bupati Pati Sudewo.

Lonjakan PBB yang drastis—selain memicu reaksi warga sebagai pihak yang paling terdampak juga memunculkan pertanyaan soal: keadilan, transparansi, dan kapasitas fiskal daerah. Fenomena kenaikan PBB di sejumlah daerah ini muncul di tengah dorongan pemerintah pusat agar daerah lebih mandiri secara fiskal pasca-pengurangan transfer dana pusat hingga kebijakan efisiensi.

Namun, kita pun bertanya-tanya, apakah kebijakan menaikkan PBB secara “ugal-ugalan” ini mencerminkan strategi fiskal yang bijak, atau justru menjadi gejala kegagapan Pemkab dalam mengelola otonomi fiskal? Sebab, dampaknya bukan hanya terasa di kantong warga tetapi juga pada daya beli, investasi lokal, dan hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat.

Lantas, mengapa banyak Pemda menaikkan PBB secara “ugal-ugalan”? Apakah ini menunjukkan adanya “ancaman” Fiskal Daerah? Adanya kebijakan ini apa saja dampaknya? Adakah cara lain yang bisa dilakukan pemerintah daerah (pemda) selain menaikkan PBB?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Yuwanto, PhD (Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro Semarang) dan M. Rizal Taufikurahman (Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)). (her/yes/dav)

Simak podcast diskusinya: