Seorang petani sedang menjemur tembakau sebelum dibeli perusahaan rokok.

Semarang, Idola 92,6 FM-Pagi baru saja merekah di langit Demak.

Sinar matahari belum sempurna menembus jendela rumah kecil di Kecamatan Mranggen, tapi Prapti (39) sudah sibuk mondar-mandir di dapur.

Tangannya lincah menyiapkan sarapan untuk suami dan dua anaknya, sebelum kemudian bergegas bersiap bekerja.

Setiap hari, pukul enam pagi, perempuan berwajah teduh ini menyalakan motor matiknya.

Ia menempuh perjalanan sekira 20 kilometer menuju pabrik rokok Praoe Lajar di kawasan Kota Lama Semarang — tempat ia menggantungkan hidup selama sepuluh tahun terakhir.

“Dulu saya diajak kerja sama saudara yang udah duluan di sini,” kata Prapti sambil tersenyum kecil, saat ditemui di sela waktu istirahatnya.

Tugas Prapti, membagikan tembakau kepada buruh lain yang menggulungnya menjadi rokok batangan.

Upahnya Rp120 ribu per hari — uang yang ia atur sehemat mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Ya yang ada dibuat cukup, Mas,” ucapnya sederhana.

Namun di balik kesabaran dan ketekunannya, tersimpan kekhawatiran besar.

Bukan tentang cuaca, bukan pula soal harga sembako yang naik — melainkan tentang rokok ilegal.

Menurut Prapti, peredaran rokok tanpa cukai yang marak akhir-akhir ini bisa berimbas langsung pada pabrik tempatnya bekerja.

“Kalau rokok ilegal makin banyak, ya jelas rugi buat yang usaha secara legal.

Walau saya cuma buruh, tapi dampaknya pasti terasa,” ucapnya pelan.

Keresahan Prapti bukan tanpa alasan.

Menurutnya, ketika peredaran rokok ilegal meningkat, penjualan rokok bercukai menurun.

Dampak domino pun terjadi: berkurangnya produksi, menurunnya pemasukan dan yang paling berat — potensi PHK bagi para buruh seperti Prapti.

“Kalau sampai terjadi PHK, efeknya bukan cuma ke perusahaan, tapi juga ke ekonomi masyarakat,” keluh Prapti.

Prapti berharap masyarakat lebih sadar, bahwa membeli rokok ilegal bukan hanya merugikan negara tapi juga menekan kehidupan para buruh pabrik rokok yang bekerja dengan jujur.

Sore itu, Prapti kembali ke rumah dengan wajah letih namun tetap membawa senyum.

Meski penghasilannya tak besar, ia merasa bangga bisa bekerja di tempat yang legal dan membantu roda ekonomi berputar.

“Selama masih bisa kerja halal, saya syukuri saja,” ucapnya.

Dari gempuran rokok ilegal, cerita Prapti menjadi potret kecil perjuangan ribuan buruh rokok di Indonesia — mereka yang bekerja keras dari pagi hingga sore, demi asap dapur tetap mengepul. (Bud)