Muslim, salah satu warga di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak yang mendapat bantuan rumah apung saat bersiap mencari kerang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang kini tinggal di rumah apung.

Demak, Idola 92,6 FM-Air asin itu datang tanpa janji. Kadang dini hari, kadang saat langit masih biru cerah.

Pelan tapi pasti, rob menjalari pematang dan jalan desa sebelum akhirnya masuk ke ruang-ruang rumah.

Dari Desa Timbulsloko di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, suara gemericik air bukan lagi pertanda hujan, melainkan tanda bahwa laut sedang menagih kembali daratan yang dulu pernah ia miliki.

Muslim, lelaki paruh baya dengan kulit legam oleh matahari, masih mengingat masa ketika rumahnya tak lagi kering.

“Kalau malam belum rob, bisa tidur di lantai. Tapi kalau air datang, ya sudah, kasur dijemur tiap hari,” kata Muslim mencoba menertawakan masa yang getir ketika ditemui di rumah apungnya, Senin (10/11).

Selama bertahun-tahun, Muslim hidup dalam ritme pasang surut yang tak kenal waktu.

Pagi membasuh lantai, siang menjemur kasur dan malam menunggu suara air.

Menurut Muslim, rumahnya sudah berkali-kali ditinggikan: setengah meter, satu meter dan bahkan satu setengah meter. Tapi, laut selalu lebih tinggi.

“Dulu, anak-anak saya tidur di atas meja, sementara saya dan istri menunggu air surut sambil duduk di kursi yang disangga batu bata. Ya mau bagaimana lagi, Mas. Rob itu kayak tamu yang enggak diundang, tapi datang terus,” jelasnya sambil tersenyum.

Namun tahun ini, hidup Muslim mulai berubah arah.

Muslim menjadi salah satu penerima bantuan rumah apung, dari Pemprov Jawa Tengah.

Rumah barunya sederhana, tapi ajaib di mata warga: berdiri di atas pelampung, mengikuti gerak air tanpa tenggelam.

“Sekarang enggak takut air naik. Rumahnya ikut ngapung,” imbuhnya.

Bagi warga seperti Muslim, kehadiran rumah apung menjadi anugerah yang nyata. Ia tak lagi cemas, setiap kali air pasang datang.

“Sekarang mau tidur tenang, Mas. Kalau rob datang, ya biar saja. Rumahnya ikut naik,” ujarnya tersenyum.

Saat tengah sore yang lembab dan angin laut asin, Muslim duduk di beranda rumahnya.

Ia memandangi pantulan langit di permukaan air yang mengelilingi rumah apungnya.

“Dulu kalau lihat air begini rasanya takut. Sekarang malah adem,” katanya pelan.

Tak jauh dari sana, Romani, tetangganya, juga merasakan hal serupa. Rumah lamanya dulu tenggelam separuh setiap kali rob datang.

“Kalau malam, air sampai lutut. Tidur di kursi. Anak dua, masih kecil,” kisah Romani.

Kini, Romani bisa menatap anak-anaknya belajar dengan tenang, tanpa harus mengungsi di musala.

Rumah apung di Timbulsloko bukan sekadar tempat tinggal.

Ia menjadi simbol harapan, bukti bahwa hidup di tengah rob tak selalu harus berarti menyerah.

Apabila di sore hari, rumah-rumah itu tampak berayun lembut mengikuti arus. Dari jauh, seperti potongan harapan yang mengapung di atas air asin.

Program rumah apung ini lahir dari kebijakan Gubernur Ahmad Luthfi dan Wagub Taj Yasin, yang membawa semangat “Ngopeni Nglakoni”, merawat dan menjalankan kepedulian secara nyata.

Melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Jateng, pemerintah membangun hunian layak bagi warga yang bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian akibat rob.

Kepala Disperakim Jateng Boedyo Dharmawan menyatakan, ada 111 kepala keluarga yang telah terdata layak menerima bantuan.

“Untuk tahap pertama, sudah ada tiga unit rumah apung yang selesai dibangun. Selain itu, dilakukan juga relokasi terhadap tiga rumah warga terdampak,” ujar Boedyo.

Boedyo menjelaskan, seluruh rumah apung telah dilengkapi dengan fasilitas dasar, termasuk toilet komunal dan akses air bersih.

“Ke depan, kami kaji apakah setiap rumah akan memiliki toilet sendiri atau ditambah fasilitas umum,” imbuhnya.

Bagi pemerintah, ini bukan sekadar proyek fisik, melainkan bentuk tanggung jawab sosial.

“Kami ingin menghadirkan solusi hidup yang berkelanjutan. Prinsipnya, pemerintah hadir dengan cara yang manusiawi,” ucap Boedyo.

Rumah apung mungkin tak menghapus rob, tapi ia mengubah cara warga menghadapi kenyataan.

Bagi mereka, ini bukan sekadar tempat berteduh, melainkan bukti bahwa hidup di pesisir masih bisa dijalani dengan martabat dan harapan.

Dan di setiap rumah yang mengapung di atas air itu, tersimpan makna sejati dari Ngopeni Nglakoni, tentang kepedulian yang tak berhenti di ucapan, tentang tangan-tangan yang benar-benar menolong.

Dari ancaman air laut yang tak henti datang, harapan warga Timbulsloko kini belajar untuk ikut mengapung, tanpa pernah tenggelam. (Bud)

Artikel sebelumnyaCerita Warga Timbulsloko dari Rumah yang Mengapung
Artikel selanjutnyaMengenal Rumah Dongeng Mentari Yogyakarta bersama Ayu Purbasari