Angka Putus Sekolah 73 Persen, Pendidikan Perlu Berbenah

(photo: chelluzpahun/ilustrasi: idola)

Semarang, Idola 92.6 FM – Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara sesuai amanat UUD 1945. Namun, hingga usia 71 tahun kemerdekaan RI segenap masyarakatnya masih belum mempunyai akses mengenyam dunia pendidikan formal selayaknya.

Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia dinilai sukses, akan tetapi jumlah anak usia wajib belajar yang hanya sampai sekolah dasar (SD) cukup besar. Merujuk pada data di harian Kompas, pada tahun 2015-2016 saja, sekitar satu juta anak putus sekolah di SD tau hanya tamatan SD.

Faktor ekonomi menjadi penghambat utama mereka untuk melanjutkan sekolah. Padahal, dalam komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 Bidang Pendidikan, setiap Negara harus bisa memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalan pendidikan.

Targetnya, tersedianya pendidikan dasar dan menengah secara universal yang inklusif, setara, dan berkualitas. Dari survey Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 73 persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi.

Lantas, upaya apa yang mesti dilakukan pemerintah terkait masih adanya jutaan anak yang hanya lulus SD dan putus sekolah? Benarkah ini karena faktor ekonomi atau system yang tidak berpihak pada mereka?

Peran Pendidikan Non-Formal Kurang

Budi Trikorayanto.
Budi Trikorayanto.

Budi Trikorayanto, Sekjen Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asahpena) mengakui faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab masih banyaknya anak putus sekolah. Selain itu, juga karena faktor pemerintah yang belum berperan maksimal di bidang pendidikan non formal.

“Namun masalah ekonomi yang seperti apa? Satu contoh anak jalanan, atau pemulung didorong untuk sekolah itu susah. Karena mereka (anak jalanan, red) sudah bisa mencari uang, dan merasakan kemerdekaan di dunia jalanan dan itu lebih menarik bagi mereka ketimbang duduk di sekolah, berseragam, dan menerima pelajaran dari sekolah. Dan itu terlalu jauh dari apa yang mereka rasakan sehari-hari,” urai Budi dalam Panggung Civil Society Radio Idola, Jumat (9/9).

Ya, menurut Budi, anak-anak jalanan saat ini lebih memilih bekerja menjadi anak jalanan ketimbang sekolah. Tidak mudah menggiring mereka sekolah, mestinya ada upaya sekolah yang mendatangi komunitas mereka.

“Kita ada juga pendidikan non-formal. Artinya bila mereka tidak bisa sekolah, maka sekolah yang datang menjemput. Tidak bisa sekolah memaksa mereka untuk memakai seragam, itu bukan dunia anak-anak jalanan. Jadi sekolah perlu sektor non-formal, kemudian jemput anak-anak ke kolong jembatan, rel kereta api, dan lingkungan lainnya,” ujarnya.

Budi mengungkapkan, banyak anak sekarang ini enggan ke sekolah salah satunya karena faktor pengajarnya. Inilah realitas yang sering terjadi di wilayah perkotaan. Kualitas guru kini tentu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah.

Lanjut Budi, mengenai adanya program Kartu Indonesia Pintar (KIP) oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mendukung pendidikan sangat membantu, meskipun masih terdapat kendala terutama untuk daerah-daerah di pelosok Luar Jawa. Selain itu juga terkait pengawasan agar tepat sasaran.

“Sangat membantu, tapi kalau kita lihat ke sekolah-sekolah ‘SMK’ kebanyakan. Banyak sekali anak yang terdaftar di sekolah, akan tetapi berangkatnya sesekali. Ini tanda Tanya, jadi mereka lebih tertarik dijalanan daripada berangkat ke sekolah. Perlu evaluasi menyeluruh dari pemerintah” serunya.

Budi menilai, standar nasional pendidikan, baik standar kompetensi, isi, sarana dan prasarana itu sudah terlalu using. Sebab, pendidikan yang seragam dan berstandar itu peninggalan era revolusi industri.

“Kompetensi gaya guru mengajar mesti dirubah. Jadi bukan zamannya lagi guru otoriter dikelas. Pendidikan harus lebih mengikuti cara personal anak yang berbeda,” katanya.

Faktor Ekonomi, Budaya, Penyebab Angka Putus Sekolah Tinggi

Abduh Zen.
Abduh Zen.

Sementara itu, Abduh Zen, Ketua Litbang PB PGRI dan Direktur Institute for Education Reform menilai penyebab terbesar anak putus sekolah tebesar memang karena faktor ekonomi dan kemiskinan. Untuk itu pemerintah mesti fokus untuk menyelesaikan problematika ini, melalui KIP misalnya.

“Meskipun terkendala secara ekonomi, banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dengan KIP tu. KIP harus menggunakan ATM, nah didaerah-daerah tertentu untuk mengaksesnya masih sulit. Kemudian factor diluar ekonomi, faktor budaya misalnya membuat orang tidak berhasrat atau kebiasaan untuk sekolah,” pungkas Abduh Zen.

Dia menjelaskan, karena kompleksnya persoalan banyak masyarakat menilai sekolah tidak lagi menarik. Sehingga dia sering mendengar keluhan untuk apa sekolah. Oleh sebab itu, pemerintah harus fokus membenahinya dan jangan seperti pemburu yang menembak secara memberondong sembarangan di dalam hutan rimba.

“Saya yakin ada faktor tetap masalah budaya, geografi, dan ekonomi. Perlu update data masalah yang perlu diidentifikasi kembali per wilayah,” ucapnya.

Abduh Zen mengungkapkan, adanya sekolah rumah sebagai alternatif pendidikan bersifat sementara. Dia menilai, sekolah rumah tidak akan menjadi solusi masalah pendidikan secara luas dan nasional.

Tetapi ini menjadi upaya penting pada daerah-daerah tertentu ketika pendidikan formal tak bisa menjangkau. Dia mengingatkan bahwa substansi sekolah adalah membangun tradisi literasi, kemelekan terhadap kehidupan ini.

“Intinya yang penting orang bersekolah itu yang pertama kemampuan berpikir. Untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupanya sehari-hari paling tidak. Dan kemudian anak-anak harus punya pemikiran berkembang dan maju,” katanya.

Negara Dan Swasta Berperan Maksimal Angkat Pendidikan

Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia dinilai sukses, namun jumlah anak usia wajib belajar yang hanya sampai SD cukup besar. Ini menjadi pekerjaan semua pihak agar pendidikan semakin merata dan menyejahterakan.

Mulai dari pemerintah, kalangan swasta dan semua lapisan masyarakat. Masa depan di luar pendidikan sekolah. Dan, tak kalah pentingnya ke depan, pemerintah juga mesti meningkatkan kapasitas dan kualitas guru agar peserta didik semakin nyaman dan bersemangat untuk bersekolah.

Merujuk pada Abduh Zeh-Direktur Institute for Education Reform, orang bersekolah bertujuan agar mampu berpikir, menalar secara rasional obyektif, dan bisa memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi sehari-hari.

Untuk itu perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang mendukung dan ditopang pengajar yang bersahabat. Dan, di sini negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa berperan optimal. (Heri CS)