Bagaimana Membentengi Daerah Dari Kepungan Dinasti Politik

Ilustrasi.

Semarang, Idola 92.6 FM – Kepala daerah produk dinasti cenderung rentan menghasilkan kejahatan korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sebagai upaya meredamnya Koalisi Pilkada Bersih berencana menguji konstitusionalitas dari Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Partai Politik. Berdasarkan data ICW tahun 2010-2015, tercatat ada 183 kepala daerah dan wakilnya di tingkat provinsi ataupun kabupaten dan kota terjerat korupsi. Dari catatan Koalisi Pilkada Bersih, dari 101 daerah yang ikut Pilkada 2017, ada 12 pasangan calon kepala daerah di 11 daerah yang merupakan produk politik dinasti.

Koalisi Pilkada Bersih merupakan gabungan masyarakat sipil yang terdiri dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Kode Inisiatif, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta Lingkar Madani. Kini mereka mengkaji pasal apa yang bisa diuji untuk bisa mendorong Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir batasan yang bisa dilakukan agar produk dinasti politik tak mudah berkuasa dan membatasi korupsi.

Sebelumnya, menjelang pilkada serentak 2015 lalu, MK menganulir UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang membatasi calon dari dinasti politik. Hal itu dinilai merupakan kemunduran demokrasi. Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan dengan adanya fakta-fakta baru semakin kiatnya korupsi yang melibatkan dinasti politik, uji konstitusionalitas tersebut dapat membuat hakim MK melihat kecenderungan politik dinasti secara berbeda.

Lantas, bagaimana membentengi daerah dari kepungan dinasti politik, dan korupsi terstruktur? Cukup efektifkah rencana menguji konstitusionalitas Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Partai Politik untuk membatasi dinasti politik?Selain itu, apa sesungguhnya akar masalah dari terjadinya dinasti politik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni Prof Hibnu Nugroho (Pakar Hukum Pidana dan Guru Besar Bagian Hukum Acara Pidana Unsoed Purwokerto) dan Prof Siti Zuhro (pengamat politik dan peneliti senior LIPI). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: