Didik Nini Thowok, Mencintai Tari Sepenuh Hati

Didik Nini Thowok

Bagi Didik Hadi Prayitno, atau yg lebih kondang sebagai Didik Nini Thowok, tari adalah cinta mati. Kecintaan pada seni tari sejak kanak kanak, telah melahirkan totalis dalam dunia tari dan menata tari. Meski tumbuh dari keluarga miskin, tak surut semangatnya untuk belajar tari.

Dia bahkan pernah membayar biaya belajar tari dengan cara menyewakan komik warisan kakeknya. Setelah lulus sma, cita citanya kuliah di Akademi Seni Tari (ASTI) Yogja juga terbentur soal biaya. Dia pun rela bekerja dengan mengajar tari di beberapa sekolah, demi cintanya pada seni tari.

Bagi didik, hidup adalah belajar.Di manapun dia berada, termasuk saat manggung di berbagai daerah, dia selalu belajar budaya tari setempat.

“Saat saya manggung di Jepang, saya sempatkan untuk belajar tari tradisional Jepang,“ kata pria yang selalu menjalani hidup seperti air mengalir, sederhana, apa adanya. Ya, seperti itulah cara Didik Nini Thowok menjalani hidup. Prinsip itu pulalah yang membuatnya kuat, termasuk ketika menghadapi berbagai pelecehan yang di terimanya.

“Waktu itu sekitar tahun 70 an, seorang laki laki menari kan wanita, dianggap banci. Banyak yang melecehkan, bahkan, dosen saya pernah mengatakan saya merusak tari karena saya menarikan tari putri,“ kenang Didik.

Dalam budaya jawa, tari sering juga di sebut “bekso“, artinya, orang yang akan menari harus benar benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Ya, seni memang memperhalus budi, memberi penghayatan rasa, empati dan simpati. Sehingga, Didik Nini Thowok sangat mendukung gagasan memasukkan pelajaran kesenian dalam kurikulum sekolah. Sebab, pendidikan seni sangat dibutuhkan anak anak sejak usia dini. Karena dengan seni, maka dapat menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan.

“Orang yang yang kurang beretika, mungkin masa kecilnya kurang mendapat sentuhan seni,“ ungkap Didik. (Doni Asyhar)