KOSKOSAN (Kisah-Kisah Selingan) – Diusir Dari Negeri Sendiri

Adalah Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami, yang hidup dari tahun 750 hingga 810 Masehi (kurang lebih dua kurun setelah zaman ke-Nabian). Dia lebih dikenal sebagai Abu Nawas, seorang pujangga Arab yang dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya.

Kisah-kisah semasa hidupnya selalu menjadi hikmah, membuat orang tersenyum kegelian, atau membuat kening berkerut karena heran dan sekaligus kagum akan kecerdasannya.

Radio Idola mengangkat kisah-kisah Abu Nawas dalam KOSKOSAN (Kisah Kisah Selingan) yang ditayangkan selama bulan Ramadhan.

Pada suatu hari, Abu Nawas dipanggil oleh raja. Kelihatannya ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan berdua. Apes benar nasib Abu Nawas.

Dengan berat hati, raja memberi perintah,

“Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah putih. Ia berkata bahwa negeri ini akan ditimpa bencana besar jika orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini.”

Abu Nawas mendengarkan dengan seksama titah rajanya. Sang Raja berkata lagi,

“Engkau harus diusir dari negeri ini, sebab engkau adalah pembawa sial. Kamu boleh kembali dengan syarat tidak boleh berjalan kaki, berlari, melompat-lompat, merangkak, menunggang keledai atau binatang tunggangan lainnya.”

Mendengar titah rajanya, akhirnya Abu Nawas pun berkemas. Dengan bekal secukupnya, Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya yang melepasnya dengan uraian air mata.

Sudah dua hari lamanya Abu Nawas mengendarai keledainya dan bekal yang dibawa pun mulai menipis.

Sebenarnya Abu Nawas tak terlalu sedih dengan pengusirannya tersebut. Karena dia sangat yakin sekali bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolongnya dari kesulitan yang menjeratnya tersebut.

Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT pada saat-saat seperti itu?

Hari berganti hari. Setelah sekian lamanya, Abu Nawas yang tengah berada di negeri orang, mulai diserang rasa kangen yang menyayat hati.

Memang tak ada jalan keluar yang lebih baik dari berpikir dan berpikir. Namun dengan akal bagaimana, seperti apa, agar ia bisa memecahkan masalah ini.

“Bagaimana kalau aku menyuruh orang agar menggendongku sampai ke istana ya. Ah tapi itu tidak mungkin, mana ada yang mau menggendong orang sejauh itu?” kata Abu Nawas.

“Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain,” guman Abu Nawas.

Memasuki hari yang kedua puluh, Abu Nawas yang cerdik itu berhasil menemukan suatu cara, yang mana hal tersebut bukan merupakan larangan raja.

Setelah semuanya dipersiapkan, Abu Nawas mulai berangkat ke negerinya sendiri. Rasa rindu bercampur senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut, semakin menggila saja karena Abu Nawas sudah mulai dekat dengan kampung halamannya.

Pada tengah hari, akhirnya Abu Nawas sampai juga di kampung halamannya.

Para penduduk, teman, saudara, semuanya bergenbira menyambut kedatangan Abu Nawas dengan penuh suka cita. Kabar pun mulai menyebar luas hingga sampai ke istana.

Para penduduk senang karena Abu Nawas adalah sosok yang dicintainya. Berbeda dengan raja, dia pun juga turut senang karena pasti kali ini akan mendapatkan hukuman.

Setelah dipanggil ke istana, Abu Nawas kembali dengan tidak berjalan kaki, berlari, melompat-lompat, merangkak, menunggang keledai atau binatang tunggangan lainnya.

“Bagaimana caramu kembali?” tanya Raja.
“Dengan bergelayut di bawah perut keledai, Baginda,” jawab Abu Nawas.

Baginda raja tak membayangkan sama sekali kalau ternyata Abu Nawas berhasil dengan taktik yang tepat. Karenanya, Abu Nawas tidak jadi mendapat hukuman. (Doni Asyhar)