Menakar Plus-Minus Calon Tunggal Bagi Demokrasi Kita

Semarang, Idola 92.6 FM – Fenomena calon tunggal pada Pilkada serentak 2017 dikhawatirkan bisa merusak keseimbangan mekanisme pengawasan dan keseimbangan di daerah. Sebab, ada kecenderungan sebagian besar calon tunggal itu muncul karena memborong partai politik pendukung.

Berdasarkan data KPU, dari 101 daerah yang akan menggelar Pilkada 15 Februari mendatang, setidaknya 9 daerah memiliki calon tunggal yakni Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Tulang Bawang Barat (Lampung), Pati (Jawa Tengah), Landak (Kalimantan Barat), Buton (Sulawesi Tenggara), Maluku Tengah (Maluku), Tambrauw (Papua Barat), dan Kota Jayapura (Papua). Jumlah ini melonjak dibandingkan dengan Pilkada serentak 2015/ yang hanya 3 daerah dengan calon tunggal.

Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, ada beberapa daerah yang memiliki calon tunggal karena ada pembatalan calon. Namun, ada pula yang memang sejak awal didesain untuk menjamin kemenangan tanpa competitor. Hal ini dinilai membahayakan demokrasi lokal di Indonesia. Ini bisa menjadi penyakit demokrasi kita.

Lantas, apa plus-minus calon tunggal bagi demokrasi kita? Benarkah ini membahayakan bagi konsolidasi demokrasi? Benarkah pula, maraknya calon tunggal ini mencerminkan ketidakmampuan partai politik menyiapkan kadernya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem (perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi) dan Ray Rangkuti (Pengamat politik/Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA)). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: