Menjaga Politik Akal Sehat

Semarang, Idola 92.6 FM – Konstelasi Pilkada 2017 menjadi pusat perhatian publik nasional, terutama Pilkada Provinsi DKI Jakarta. Saking memanas dan tegangnya, beberapa kalangan menilai, pemilihan gubernur DKI Jakarta, atmosfernya layaknya pilpres. Di balik hiruk pikuk pilkada di ibu kota itu, Yudi Latif-anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menilai, politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Merujuk pada analisis politiknya di Kompas Selasa 27 September lalu yang berjudul “Politik Akal Sehat”, ibu Kota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan.

Menurut Yudi Latif, pada mulanya, nalar lurus mempertanyakan keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik. Tak lama kemudian, nalar terpelanting lebih jauh mendapati keputusan poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang jenderal purnawirawan dengan getir menyatakan, “Penunjukan Agus Yudhoyono merupakan preseden buruk bagi TNI, menjadi contoh negatif yang bisa merusak atmosfer pembinaan di lingkungan TNI. Seorang prajurit ditempa untuk menjadi tentara sejati bukan menjadi politisi.”

Pesan berantai melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia, kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang pernah dinista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya. Alhasil, tiga pasang calon tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan harkat keluarga. Popularitas menepikan integritas. Modal uang menjatuhkan modal moral. Kebebasan demokratis sebagai buah reformasi belum kunjung menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna.

Analisis lain juga dikemukakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz mengemukakan, partai politik telah gagal melakukan kaderisasi untuk memunculkan calon pemimpin yang diinginkan rakyat. Hal itu setidaknya terlihat dari kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Dari tiga calon Gubernur, tidak ada yang kader internal partai. Calon gubernur yang diusung PDI-P, Hanura, Nasdem dan Golkar, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, merupakan petahana yang tak memiliki partai. Ahok sebelumnya keluar dari Partai Gerindra.

Sementara, Agus Harimurti Yudhoyono yang diusung Partai Demokrat, PKB, PAN dan PPP juga bukan merupakan kader partai. Meski merupakan putra ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Agus sejak awal memulai karirnya di TNI. Adapun calon gubernur yang diusung Partai Gerindra dan PKS, juga bukan merupakan kader kedua partai tersebut. Ia menilai, hal ini terjadi karena parpol tidak mementingkan kualitas saat menentukan calon yang diusung. Parpol lebih memilih mengusung calon dengan modal keuangan yang besar dan popularitas yang tinggi. Akibatnya, partai tidak terlalu peduli dengan kaderisasi yang harus dilakukan.

Lantas, fenomena apa yang sesungguhnya terjadi di balik kontestasi politik yang terjadi di balik Pilkada serentak? Bagaimana menjaga marwa daulat rakyat di bawah pertarungan kuasa modal dan transaksional?

Guna memeroleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berbincang dengan beberapa narasumber, yakni: Masykurudin Hafidz, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) dan Siti Zuhro, Peneliti Politik Senior LIPI. (Heri CS)

Berikut Perbincangan Selengkapnya:

Artikel sebelumnya[Video] Warung Gaul On Stage September 2016 (Video 1)
Artikel selanjutnyaDalang Ki Joko Edan Tersangkut Kasus Narkoba